Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian V
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Kami tinggal di Fort de Kock sampai tanggal 26 April dan
selanjutnya menuju ke Pajacombo lewat Padang Pandjang dan Fort van der
Capellen, sehingga mundur dari arah selatan Gunung Merapi. Perjalanan
kami tanpa insiden, dan jalan sangat baik, sehingga kereta kuda kami
berjalan lancar, meskipun kemiringan jalan sangat tinggi. Kebun kopi
sangat luas di lereng pegunungan, sawah dan desa-desa, sejauh mata dapat
melihat, tersebar di dataran, dan selalu terlihat situasi monoton yang
sama di Pajacombo, tetapi pemandangan selalu terlihat indah di depan
mata kami.
Kami berencana berangkat dari Pajacombo pada hari
pertama bulan Mei, tetapi kami terpaksa tinggal satu hari lagi.
Perjalanan yang ingin kami lakukan orang-orang mengatakannya sulit dan
meskipun dengan sedikit kesulitan kami akhirnya mendapat izin untuk
memulainya. Kami akan melalui daerah yang belum sepenuhnya tunduk.
Daerah-daerah di pantai timur hampir semua independen, dan Belanda tidak
ingin memaksakan otoritas mereka dengan kekuatan untuk hasil yang tidak
seimbang.
Kami tidak melewati lembah Jambi, ataupun Indragiri
berdasarkan penolakan formal atas permintaan kami untuk maju. Kampar
dianggap terlalu berbahaya, dan Batavia telah jujur,dengan tidak
memberi izin untuk kunjungan ke sebuah wilayah yang kondisi damai-nya
hanya berumur beberapa minggu. Akibatnya kami harus memutuskan, langsung
ke Taboeg di Batu Gajah Kampar Kiri dan kemudian setelah itu
dilanjutkan perjalanan ke Siak. Tetapi Asisten-Residen Pajacombo memberi
kami pesan meyakinkan tentang kondisi di Limo Koto sehingga kami
memutuskan untuk sekali lagi mengubah jadwal kami.
Pajacombo
berada di pinggir Sinamar, anak sungai Ombilien. Jalan yang akan
ditempuh akan membawa kami ke pasar Kota Baru, 45 km utara Pajacombo dan
terus ke tepi Soengai Mahe, anak sungai Kampars. Dari sana kami naik
sampan di Soengai Mahe, dan kemudian berlayar ke Bengkinang Teratak
Boeloe dan kemudian pergi lewat darat ke tepi Sungai Siak Pakan Baru
dan terakhir sampai Beng Kalis.
Untuk mencapai perjalanan ini
tanpa hambatan, kami jelas membutuhkan pemimpin-pemimpin pribumi untuk
memperingatkan kedatangan kami, dan juga memberitahukan ke komandan pos
Bengkinang. Sayangnya, dan ini cukup sering terjadi, garis telegraf yang
menghubungkan Pajacombo dengan Bengkinang rusak sehingga kami dipaksa
untuk menunda keberangkatan kami satu hari.
Pajacombo adalah
sebuah desa yang sangat besar, terletak di dataran yang cukup lebar, di
mana pohon kelapa tumbuh, dan di mana sawah telah dibuat. Meskipun
hampir di ketinggian 500 M., iklimnya menyenangkan. Disekitarnya
pegunungan yang tinggi dan di lereng Gunung Sago setinggi 2240 M, di
tengah-tengah perkebunan kopi, terdapat pasangrahan yang dibangun oleh
penduduk desa, dimana udara segar dapat menjadi pengobatan. Perawatan
dan pengaturan dilakukan dan dikelola oleh pasangrahan, termasuk di
dalamnya kelompok bungalow atau rumah peristirahatan.
Orang
Eropa tidak terlalu banyak. Di luar Asisten-Residen ada letnan komandan
garnisun kecil, dokter dan dokter hewan. Pemerintah memiliki peternakan
pejantan dengan perangkat yang sangat sederhana, di mana tidak ada
bangunan mahal didirikan seperti di tempat lain. Seluruhnya hanya
membutuhkan biaya 3000 gulden, dengan bangunan dari kayu dan jerami.
Ada dua puluh dua kuda-kuda ras yang berbeda, dari pulau Sumba, yang
terbesar dan paling terkenal dari Makassar dan kemudian Batak, dipilih
dari hewan-hewan terbaik, namun harga rata-rata mereka lebih dari £ 300.
Kuda jantan didistribusikan ke distrik yang berbatasan dengan
Pajacombo, dan lokasi dipilih sedemikian rupa sehingga pemeriksaan
dengan mudah bisa berakhir dalam beberapa hari. Para pemilik kuda
menerima suatu keuntungan, yaitu anak kuda muda yang bagus dan terawat
dengan baik.
Hanya ada satu orang Eropa, dokter hewan, yang
ada di peternakan. Operasional dan staf yang telah ditunjuk,
menghabiskan biaya tidak lebih dari £ 800 per bulan. Prasarana ini
memiliki hasil yang sangat baik, hanya dalam dua tahun sudah ada
sekitar 270 anak kuda yang sangat baik lahir di Pajacombo.
Pasar
Pajacombo merupakan salah satu yang tersibuk seluruh Dataran tinggi
Padang. Kami membeli beberapa perlengkapan untuk perjalanan. Ini
terlihat seperti kerumunan padat orang, kota yang ramai dan riuh.
Pajacombo adalah salah satu pos paling diminati di Sumatera. Iklimnya
nyaman, sama seperti kecantikan dan kelembutan para wanitanya.
Tanggal
2 Mei pada pukul enam pagi, kami berangkat dari Pajacombo. Di utara
dataran ini tertutup oleh sebuah tebing setinggi 1500 M. Beberapa
lembah menembus pegunungan dan melalui ke atas pegunungan. Kami telah
melewati Lembah Harrau, sebuah celah di antara gunung dinding tegak
yang tinggi, di mana air terjun berbusa turun. Hari ini kami pergi
menuju lembah Ayer Poetih.
Kami
sampai di Loeboek Bengkoeang yang berjarak 12 batu dari Pajacombo
(satu batu adalah 1500 M), di mana kami naik di atas punggung kuda dan
mulai mendaki jalan curam, sepanjang sisi angin lembah bertiup. Tanah
terdiri dari batuan konglomerat tinggi kasar dan curam naik di atas
sungai.
Sebuah karpet tanaman yang cukup lebat menutupi lereng
dari permukaan sungai ke atas ketinggian. Kami secara perlahan maju di
jalan yang telah banyak mendapat curah hujan. Setelah satu jam kami
mencapai puncak gunung. Kami melihat ke bawah ke lembah di mana sungai
memperoleh air dari lembah Ayer Poetih. Aku telah melakukan kebodohan
dimana kudaku tergelincir dan jatuh di lantai jembatan kayu. Kakiku
terhimpit di bawah hewan, topiku jatuh bergulung ke kedalaman ngarai,
dan aku mendapat memar parah dan sayatan panjang di lengan dan kaki.
Kami
berhenti beberapa saat di sebuah gubuk di sisi jalan. Daerah ini
disebut Ulu Ayer. Kami berada di ketinggian 950 M., Celah yang akan
kami tempuh beberapa ratus meter lagi, dan kami akan segera turun ke
Kota Baru di 20 KM dari sini. Dari celah kami lihat bukit yang
berurutan, yang secara bertahap menurun, di kejauhan lautan dedaunan,
lautan hijau, hijau tua, gelombang luas menyebar lebih jauh dan lebih
jauh di cakrawala.
Ini adalah hutan raksasa yang menutupi
dataran, di mana kami akan lewat. Kemiringan pegunungan menuju 250 km
dari sini, ke Selat Malaka. Kami tetap sejenak di atas. Lanskap ini,
kasar dan gelap membuat kesan yang mendalam pada kami. Tidak ada jejak
kehadiran atau aktivitas manusia. Tidak ada sepotong tanah yang telah
diolah, tidak ada terlihat asap membumbung ke udara. Pepohonan sangat
rapat, dengan tanah yang tidak digarap dan tidak diragukan lagi akan
berada dalam bayang-bayang bahaya dan ancaman hewan buas. Rasa haus akan
petualangan, keinginan dan keinginan untuk pengalaman baru, keinginan
untuk hal-hal yang belum diketahui, sebagaimana perasaan semua orang ,
kenangan cerita masa lalu, mimpi-mimpi, mimpi masa kanak-kanak, semuanya
ada di dalam diri dan menantang kami...
(***HABIS***)
(Fakta menarik :
1.
Sangat disayangkan tidak ada ulasan tentang Fort van der Cappelen alias
Batusangkar. Padahal kota ini dilewati dalam perjalanan Fort de Kock -
Padang Panjang - Fort van der Cappelen - Payakumbuh. Kira-kira kenapa
ya? Padahal di Batusangkar banyak yang bisa dibahas, terutama sebagai
pusat kerajaan Minangkabau di Pagarayung.
2.
Daerah-daerah di pantai timur Sumatera belum sepenuhnya ditundukkan
Belanda karena dianggap hasilnya tidak sepadan dengan biaya yang
dikeluarkan. Belum tau rupanya kalau di sana banyak minyak...:)
3.
Sangat sulit untuk mendapat izin perjalanan ke daerah-daerah tersebut.
Izin pun harus diperoleh dari Batavia. Rute pun harus berubah-ubah
sesuai informasi kondisi keamanan jalan yang akan dilalui.
4.
Rencana rute perjalanan selanjutnya adalah Payakumbuh - Koto Baru -
Berperahu di Sungai Mahat - Teratak Buluh - Bangkinang - Pekanbaru -
Bengkalis
5. Sudah ada jaringan telegraf antara Payakumbuh dan Bangkinang saat itu. Tapi sering putus.
6.
Di lereng Gunung Sago terdapat perkebunan kopi dengan bungalow-bungalow
peristirahatan di tengahnya, yang disebut pasangrahan.
7.
Orang Belanda di Payakumbuh tidak banyak. Hanya ada Asisten Residen,
Letnan Komandan Garnisun, Dokter dan Dokter Hewan. Mungkin juga ada
beberapa yang lain tapi tidak disebutkan.
8.
Payakumbuh sudah menjadi sentra pembibitan kuda. Tercatat ada 22 ras
yang dikembangkan dengan pengawasan seorang dokter hewan Belanda!
Bayangkan. Dokter orang saja jarang pada saat itu, lahhh ini dokter kuda
disediakan. Artinya, kuda sangat berharga...
9. Pembibitan itu berlangsung sukses. Terbukti telah lahir 270 anak kuda ras dalam dua tahun. Well done, tuan dokter kuda!
10. Payakumbuh termasuk pos yang diminati orang Belanda, terutama karena iklim dan kecantikan wanitanya...
11. Hitungan satu batu berarti berjarak 1,5 kilometer.
12.
Rimba antara Payakumbuh dan Bangkinang masih perawan, belum terjamah,
lebat dan menyeramkan. Berkemungkinan rombongan ini berhenti di lokasi
puncak panorama Selat Malaka sekarang, dan memandang sekeliling, hanya
ada hamparan pucuk-pucuk pohon hijau pekat bergelombang naik turun
sejauh-jauh mata memandang......
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian V
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/van-batavia-naar-atjeh-1904-bagian-v.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment