Dimano Titiak Palito..Dari Telong Nan Batali....Dimano Turun Niniak Kito...Dari Puncak Gunuang Marapi......Antaah lah yuuaaang......
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
1. Kerajaan Pertama di Gunung Merapi
1. Maharaja yang Bermahkota
Dikatakan
pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar
Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh
ke dalam laut. Sekalian
orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak
berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut. Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa. Setelah
mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan
“camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai
tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan
jangan dapat ditiru lagi. Waktu
Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya
diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main
sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu.
Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri
Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah
Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri
Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan
menaklukkan negeri Jepang.
2. Galundi Nan Baselo
Sri
Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi
membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat
ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit
ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-mula
dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah
untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin
ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai. Sri
Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya
mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh
dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk
membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar.
Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang
Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur
sekali. Beratus-ratus
tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak
cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka,
karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”. Keturunan
Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi
agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam”
(luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan
teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk
mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Keturunan
“Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung
Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak
yang banyak ditumbuhi kumbuh. Keturunan
“Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing
Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si
Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan
semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh,
meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan
kampung.
3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”.
Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari
tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai
dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam. Mula-mula
ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru
dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari
perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua
laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu
Cendera Dewi dan Bilal Daun. Pada
satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai
Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai
di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo
ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri
Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung
Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia
jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan
Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja,
gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi. Anak
negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah
dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya
yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba
dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang
Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala.
Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai
sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah
Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah
tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu
adalah tempat beriang-riang.
4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang
Sang
Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga.
Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo
sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.Untuk
raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang”
tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari :
tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh
dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya
jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena
Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat
yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan
melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang
kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan
Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang
kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu
menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak
sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung
disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu,
sampai sekarang masih bernama Padang Panjang. Lama
kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian
Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di
seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri
Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat
orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja
dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan
dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat
“penghulu” dan bergelar “Datuk”. · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri
Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa
untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula
sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat.
Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan.
5. Sikati Muno
Seorang
orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu.
Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang
naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat
sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar
dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar
yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah
merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis
dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan
dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang
Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang
kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya
sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno.
Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba
sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati
Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris
tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung
pangkal mengena, jejak ditikam mati juga. Sejak
itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin
bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari
tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar,
melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat
bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat
mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba
berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri.
Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai
sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi
termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di
Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di
daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja
menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap
raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang
baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang
kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)
2. Kerajaan Minangkabau Baru
Pusat
kerajaan kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa
kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan
adat Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah
bergnati musim adat Minangkabau tetap terpakai disebut; Tidak lakang
oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara putra-putri
Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih
hidupnya dalam keluarga sendiri. Tahun
1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni
adik kandung dari Datuk Suru Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata
belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan
Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua
tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda
kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas
rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri
Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau,
bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari
Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun
1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar
Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja,
masing-masing dari tiga orang ibu. Tahun
1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang
tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti
Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara
menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan
oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai
dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
- Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
- Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
- Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
- Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
- Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang
Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar
dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur
18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk
Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau,
pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo
Jelito. Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja
dinobatkan pula menjadi penghulu.Tahun
1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai
Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh
seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja.
Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan
perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo. Pada
masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan
dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan
Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari
seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut
suku ibunya. Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari
nenek, diwariskan kepada ibun dan dari ibu diwariskan pula kepada anak
perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua
daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah
pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi.
Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan
untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada
tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang
pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima
kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah
terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang
hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh
raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik
seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan
lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan
Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama
Adityawarman. Puti
Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara
Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah
menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh
Adityawarman di kerajaan Majapahit. Karena
Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Puti Dara
Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau
dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama
Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak
tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya. Setelah
Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan
mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk
Perparih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun. Si
Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan
dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat utusan dari
kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat
Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak
bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa
Anabrangyang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di
Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah
kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang
pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada
tandingan dizamannya. Adityawarman
sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang
dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri
yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena
itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah
dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan
Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan,
sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu
di-Islamkan. Pada
tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar
Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti
Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Gahah
Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada
Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena
mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th
1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit
menaklukkan Bali. Sewaktu
Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan
kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan
Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi
tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap
Minangkabau. Kalau
dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan
Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman
Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau
terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Sesudah
Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin
karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk
kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh
cerdik pandai terdahulu. Demikian
sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu
pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi
syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah. (Sumber : Kerajaan Minangkabau – Jamilus Jamin)
3. Asal Usul Kata Minangkabau
Orang-orang
Majapahit tidak ketinggalan mencoba kecerdasan dan kecerdikan
orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada suatu hari mereka membawa
seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil sedikit dari gajah. Mereka
ingin mengadakan pertandingan adu kerbau. Ajakan mereka itu diterima
baik oleh kedua datuk yang tersohor kecerdikannya dimana-mana itu, yaitu
Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang. Taruhannya adalah
seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala isinya, dan
taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka sendiri. Waktu
tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit dilepaskan
di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat
bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca
waktu itu. Dalam
keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun
mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati
orang banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak
kerbau itu sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau
itu telah bebearapa hari tidak doberi kesempatan mendekati induknya. Ketika
melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari
mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak
menyusu. Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam.
Ia menyeruduk ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk
hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari
kesakitan dan mati kehabisan darah. Orang-orang
Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu curang. Kegaduhan
pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Tetapi dengan
wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa
orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. Parpatih Nan
Sabatang menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya
orang-orang Majapahit pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan
persyaratan-persyaratan antara kedua belah pihak sebelum mengadakan
pertandingan. Sejak
itu tempat mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri
Minangkabau. Dan kemudian hari setelah peristiwa kemenangan mengadu
kerbau dengan Majapahit itu termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan
orang-orang yang bernenek moyang ke Gunung Merapi dikenal dengan Alam
Minangkabau. Diceritakan pula kemudian rumah-rumah gadang diberi
berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)
4. Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan
Datuk
Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu konon kabarnya sudah pernah
berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di Negeri Sembilan.
Negeri Sembilan sekarang
Negeri
Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi
Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke
timur dengan negara bagian Jojor, sebelah utara dengan Pahang dan
sebelah barat dengan Selangor. Dalam
tahun 1970 negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai
penduduk lebih dari setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan
Melayu lebih sedikit dari bangsa Cina. Mayoritas di Malaysia terdiri
dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina dan Keling. Penduduk
bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebahagian besar masih
mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih
banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan
sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa
keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan
pada mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan. Hubungan sejarah
ini sudah bermula pada pertengahan abad kelima belas. Patun mereka berbunyi : Leguh legah bunyi pedati Pedati orang pergi ke PadangGenta kerbau berbunyi jugaBiar sepiring dapat pagiWalau sepinggan dapat petangPagaruyung teringat juga Negeri
Sembilan sebuah kerajaan tetapi pemerintahannya berdasarkan Konstitusi
yang disana dikatakan Perlembagaan Negeri. Badan Legislatifnya bernama
“Dewan Perhimpunan/Perundingan Negeri yang mempunyai anggota 24 orang.
Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum yang disini
dikatakan : Pilihan raya. Pelaksanaan
pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8
orang anggotanya yang bernama : “Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan
Negeri”. Gelaran raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar
Negeri Sembilan. Dalam tahun 1970 itu yang memerintah ialah : Tuanku
Ja’far ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dan beliau ialah keturunan yang
kesebelas dari Raja Malewar yang berasal dari Minangkabau dan
memerintah antara tahun 1773 – 1795. Pemerintahan
Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia,
yaitu: Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau.
Ibukotanya ialah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini
bernama : Istana Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan
cara Minang melainkan sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan
Melayu.
Kedatangan bangsa Minangkabau
Sebelum
Negeri Sembilan bernama demikian di Melaka sudah berdiri sebuah
kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Melaka menjadi pintu
gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka
sebulum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari
Minangkabau dan tinggal menetap disini.
Rombongan Pertama
Mula-mula
datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar
Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal
mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan
singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka
terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan
akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut
demikian karena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang tempat
itu bernama Kampung Galau.
Rombongan Kedua
Pimpinan
rombongan ini bergelar Datuk Raja juga dan berasal dari keluarga Datuk
Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap disebuah
tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.
Rombongan Ketiga
Rombongan
ketiga ini datang dari Batu Sangkar juga, keluarga Datuk Makudum Sati
di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan
Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah juga di Siak,
Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang bernama
Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir.
Rombongan Keempat
Rombongan
ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan
mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan
di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang
atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri
Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini. Kemudian
berturut-turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya yang
dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami
Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari
Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk Lelo
Balang. Kemudian menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk
Laut Dalam dari Kampung Tiga Nenek. Walaupun
penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Perpatih nan
Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak membagi
persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau. Mungkin disebabkan
situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku
jauh mencari Hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak
dari tempat datang mereka itu atau negeri asal datangnya. Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yang masing-masing adalah sbb;
- Tanah Datar
- Batuhampar
- Seri Lemak Pahang
- Seri Lemak Minangkabau
- Mungka
- Payakumbuh
- Seri Malanggang
- Tigo Batu
- Biduanda
- Tigo Nenek
- Anak Aceh
- Batu Belang
Fakta-fakta dan problem
Sejarah
Pada sebuah tempat yang bernama Sungai Udang kira-kira 23 mil dari
Seremban menuju Port Dickson terdapat sebuah makam keramat. Disana
didapati juga beberapa batu bersurat seperti tulisan batu bersurat yang
terdapat di Batu Sangkar. Orang yang bermakam disana bernama Syekh Ahmad
dan berasal dari Minangkabau. Ia meninggal dalam tahun 872 H atau 1467
Masehi. Dan masih menjadi tebakan yang belum terjawab, mengapa
kedatangan Sekh itu dahulu kesini dan dari luahk mana asalnya.
Raja berasal Minangkabau
Dalam
naskah pengiriman raja-raja yang delapan orang antaranya dikirimkan ke
Rembau, Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam. Tetapi bilamana
ditinjau sejarah negeri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirimkan
kesini Raja Mahmud yang kemudian bergelar Raja Malewar. Raja
Malewar memegang kekuasaan antara tahun 1773-1795. Beliau mendapat 2
orang anak Tengku Totok dan puteri bernama Tengku Aisah. Beliau
ditabalkan di Penajis Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti.
Sehingga sekarang masih populer pepatah yang berbunyi : Be raja ke JohorBertali ke SiakBertuan ke Minangkabau Kedatangan
beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut yang kalau dimasukkan
ke dalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu.
Benda pusaka itu masuh tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja
baru. Yang mengherankan kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar dalam
tahun 1795 tidak diangkat puteranya menjadi raja melainkan sekali lagi
diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan
dinobatlkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan puteri Raja
Malewar yang bernama Tengku Aisyah sayang beliau tidak dikarunia putera.
Raja Hitam kawin
dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari isterinya itu
beliau mendapat 4 orang putera/puteri bernama : Tengku Alang Husin,
Tengku Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat
dalam tahun 1808 mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat salah
seorang puteranya. Tetapi
sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk meminta seorang
raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minagkabau dan besar
kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari Minangkabau
dan tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang Delapan di
Minangkabau. Raja
Lenggang memerintah antara tahun 1808 sampai tahun 1824. Raja Lenggang
kawin dengan kedua puteri anak raja Hitam dan mendapat putera dua orang
bernama : Tengku Radin dan Tengku Imam. Ketika
raja Lenggang meninggal dinobatkanlah Tengku Radin menggantikan
almarhum ayah beliau. Dan inilah raja pertama Negeri Sembilan yang
diangkat oleh Pemegang Adat dan Undang yang lahir di Negeri Sembilan.
Dan keturunan beliaulah yang turun temurun menjadi raja di Negeri
Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam (1861-1869). Dan
selanjutnya raja-raja yang memerintah di Negeri Sembilan : Tengku Ampuan
Intan (Pemangku Pejabat) 1869-1872, Yang Dipertuan Antah 1872-1888,
Tuanku Muhammad 1888-1933, Tuanku Abdul Rahman 3/8/1933-1/4/1960, Tuanku
Munawir 5/4/1960-14/4/1967, Tuanku Ja’far dinobatkan 18/4/1967.
Terbentuknya Negeri Sembilan
Semasa
dahulu kerajaan negeri Sembilan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Minangkabau. Yang menjadi raja dinegeri ini asal berasal dari keturunan
Raja Minangkabau. Istananya bernama Seri Menanti. Adat istiadatnya sama
dengan Minangkabau, peraturan-peraturannya sebagiannya menurut
undang-undang adat di Minangkabau. Mereka mempunyai suku-suku seperti
orang Minangkabau tetapi berbeda cara pemakaiannya. Perpindahan
penduduk ini terjadi bermula pada abad ke :XIV yaitu ketika pemerintah
menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh
diluar negeri. Mereka harus mencari tanah-tanah baru, daerah-daerah baru
dan kemudian menetap didaerah itu. Setengahnya yang bernasib baik dapat
menemui tanah kediaman yang subur dan membuka tanah dan membuat
perkampungan disitu. Ada pula yang bersatu dengan rakyat asli yang
ditemui merka dan menjadi pemimpin disana. Sudah tentu adat-adat,
undang-undang, kelaziman dinegeri asalnya yang dipergunakannya pula
dinegeri yang baru itu. Sebagai sudah diuraikan orang-orang Minangkabau
itu menjalani seluruh daerah : ke Jambi, Palembang, Indragiri, Taoung
Kanan dan Tapung Kiri, Siak dan daerah lainya. Sebagiannya menyeberangi
Selat Melaka dan sampai di Negeri Sembilan. Pada
abad ke XVI pemerintahan negeri mereka disana sudah mulai tersusun
saja. Mereka mendirikan kerajan kecil-kecil sebanyak 9 buah dan kesatuan
kerajan kecil-kecil itu mereka namakan NEGERI SEMBILAN. Negara
ini terjadi sewaktu Minangkabau mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil
ini dan diperlindungkan dibawah kerajan Johor. Setelah negara kesatuan
ini terbentuk dengan mufakat bersama dengan kerajaan Johor dimintalah
seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi raja di Negrei
Sembilan itu. Pada waktu itulah bermula pemerintahan Yang Dipertuan Seri
Menanti. Asal
usul anak negeri disitu kebanyakan dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu
dari : Payakumbuh, Sarilamak, Mungka, Batu Balang, Batu Hampar,
Simalanggang dan sebagian kecil dari Luhak Tanah Datar. Dari
negeri-negeri mana mereka berasal maka nama-nama negeri itulah menjadi
suku mereka. Sebagian tanda bukti bahwa rakyat Negeri Sembilan itu
kebanyakan berasal dari Luhak Lima Puluh Kota sampai sekarang masih
terdapat kata-kata adat yang poluler di Lima Puluh Kota : “Lanun kan
datang merompak, Bugis kan datang melanggar”. Kata-kata adat ini sering
tersebut dalam nyanyian Hikayat Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Di
tanah Melaka kata-kata ini menjadi kata sindiran atau cercaan bagi
anak-anak nakal dan dikatakan mereka “anak lanun” atau anak perompak. Kalau
dibawa kepada jalan sejarah diatas tadi, maka yang dimaksud dengan
“lanun” itu ialah perompak, rakyat dari Raja Daeng Kemboja yang hendak
merampas Negeri Sebilan. Dan Bugis adalah nama negeri asal Daeng Kemboja
tadi. Dan memang aneh, kata lanun yang jadi buah nyanyian oleh rakyat
Lima Puluh Kota ini tidak dikenal oleh rakyat Luhak Agam dan sedikit
oleh rakyat rakyat Luhak Tanah Datar. Karena memang fakta sejarah
keturunan anak negeri Sembilan itu sebagian besar berasal dari Luhak
Lima Puluh Kota. Nama suku-suku rakyat disana menjadi bukti yang jelas. Oleh
karena Sultan Johor sudah memberikan bantuannya dalam melindungi rakyat
Negeri Sembilan ini dari jarahan lanun atau Daeng Kemboja, disebabkan
ini pulalah Yang Dipertuan Pagaruyung memberikan bantuan kepada Sultan
Johor dalam memberikan bantuan ikut bertempur di Siak untuk memerangi
bangsa Aceh. Maka hubungan yang demikian rapat semenjak berabad-abad itu
menjadikan hubungan antara negara yang akrab : Negeri Sembilan pada
khususnya, Indonesia – Malaysia
Dari berbagai sumber...pada umumnya. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Dimano Titiak Palito..Dari Telong Nan Batali....Dimano Turun Niniak Kito...Dari Puncak Gunuang Marapi......Antaah lah yuuaaang......
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/1.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment