Jalan Panjang Yang Berliku
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Pengantar : Posting kali ini dikutip dari tulisan sejarawan
Universitas Andalas, Prof. Gusti Asnan yang dimuat di jurnal KITLV.
Selanjutnya saya lengkapi dengan foto-foto dari koleksi KITLV juga.
Terimakasih buat pembaca setia blog ini, Bung Chan, yang telah
memberikan link jurnal ini kepada saya. Bagi pembaca yang ingin membaca
tulisannya secara lengkap, silakan meluncur ke
http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/1745/2506.
Pernahkah terpikir oleh dunsanak, bahwa manusia
yang (mungkin) paling menyengsarakan bangsa Indonesia adalah juga sekaligus
orang yang berjasa memprakarsai pembangunan jalan di Ranah Minang? Namanya
Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal yang berkuasa di Batavia tahun
1830-1834. Orang se-Hindia Belanda mengenalnya sebagai tokoh dibalik kebijakan
Tanam Paksa. Ironis? Begini ceritanya.
Jalan-jalan setapak ini tercipta umumnya karena kebutuhan masyarakat pedalaman Minangkabau akan garam.
Di nagari-nagari sepanjang jalan biasanya dikenakan
uang jalan oleh penghulu setempat yang
jumlah dan bentuknya bervariasi. Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles,
misalnya, mencatat harus membayar “tol” 26 kali dalam perjalanan ke pedalaman
Minangkabau pada 1818. Dalam kesempatan lain seorang wakil dari Nederlandsche Handel
Maatschappij (NHM) di Padang dalam perjalanan dari Air Bangis ke pedalaman
diminta untuk membayar dalam bentuk kain. Penghulu nagari menjelaskan bahwa kain itu dibutuhkan untuk sekelompok penduduk yang
telah kehilangan semua harta mereka dalam kebakaran.
Selain dari jalan setapak antara daerah pegunungan
dan pantai barat, ada juga beberapa jalan setapak diantara pedalaman dan bagian
timur Sumatera. Tapi, berbeda dengan ke arah barat, jalan setapak yang pergi ke
timur tidak mencapai pantai. Hanya sampai ke tempat-tempat yang dikenal sebagai
pangkalan, panambatan, dan pamuatan. Artinya tempat-tempat ini adalah hulu
sungai tempat perahu berhenti dan
diikat, barang dagangan dimuat dan diturunkan.
Sebagai salah satu sarana penting dalam mewujudkan
keinginannya, ia memerintahkan pemerintah kolonial setempat untuk membangun jalan
yang menghubungkan pelabuhan utama, Padang, dengan daerah pedalaman. Dengan
demikian, jalan pertama dibangun di Sumatera Barat adalah jalan yang menghubungkan
Padang dengan Padang Panjang, melalui Lembah Anai. Jalan ini dibangun di atas Jalan
Dagang yang telah ada. Konstruksi dimulai pada 1833 dan selesai pada 1841.
Pada periode yang sama, pemerintah kolonial juga
membangun sebuah jalan antara Padang Panjang dan Bonjol, pusat perlawanan
Padri, melalui Padang Luar dan Matua. Di Padang Luar jalan itu bercabang ke
Bukittinggi dan Payakumbuh, dua kota
yang memainkan peran penting dalam tahun-tahun terakhir Perang Padri.
Bukittinggi (Belanda menyebutnya Fort de Kock) adalah pusat militer Belanda di pedalaman, sementara
Payakumbuh adalah pusat aktivitas ekonomi Belanda. Belanda membuka sebuah cabang
maskapai dagang di Payakumbuh serta membangun jaringan benteng untuk membatasi perdagangan
dari pantai timur yang dianggap mengganggu perdagangan Belanda di pantai barat.
Pada pertengahan tahun 1830-an, dibangun jalan dari
bagian utara kota Padang sepanjang pantai ke Pariaman, Tiku, dan kemudian
Maninjau dan Matua. Di Matua, jalan pesisir bergabung dengan jalan dari Padang Panjang
ke Bonjol. Semua jalan ini dapat digunakan oleh pedati (kerbau yang ditarik gerobak).
Tujuan utama dari jaringan jalan ini sendiri adalah untuk memfasilitasi
logistik dari Belanda dalam pengepungan Bonjol, pusat dari perlawanan Padri.
Sepuluh tahun setelah proyek untuk memperbaiki
jalan diluncurkan, ada 4 rumah dan pos
penjagaan militer antara Padang dan Padang Panjang. Peningkatan yang sama jalan
dilakukan di jalan-jalan dari Padang Panjang ke Bukittinggi dan Payakumbuh, dan
dari Padang Panjang ke Batu Sangkar. Pada pertengahan 1860-an, jumlah rumah
istirahat dan pos-pos penjagaan militer di Sumatera Barat meningkat menjadi 12.
Setelah 1848, pemerintah melanjutkan untuk
membangun beberapa jalan sekunder. Jenis jalan ini terutama digunakan untuk
menghubungkan beberapa kota untuk memudahkan proses pengangkutan kopi dari
beberapa desa ke gudang kopi pemerintah. Contohnya adalah rute Solok-Alahan
Panjang, Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batu Sangkar dan Buo, dan
Air Bangis-Lundar. Semua jalan ini diselesaikan pada 1860-an awal. Para pekerja
yang terlibat untuk membangun jalan ini terdiri dari kuli bebas dan penduduk
lokal yang melakukan kerja paksa.
Sejak 1900 jalan dari Bukittinggi telah terkoneksi
dengan jalan dari Tapanuli dan Medan. Bukittinggi-Pekanbaru dihubungkan oleh
jalan pada 1916. Dan pada 1921, jalan
antara Sumatra’s Westkust ke Jambi dan Kerinci dibuka.
http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/1745/2506.
Johannes van den Bosch |
***
Sampai pertengahan abad kesembilan belas, hubungan
antara daerah pantai dengan pedalaman Minangkabau diadakan masih melalui jalan
setapak. Setidaknya ada lima kelompok jalan setapak pada saat itu.
Kelompok pertama ada dua jalur di Pasaman yaitu menghubungkan antara Air Bangis-
Rao serta menghubungkan Sasak-Lundar-Bonjol. Kelompok
kedua ada di Agam yaitu dari Tiku, menyusur sepanjang tepi kanan Sungai Antokan
dan sisi utara Danau Maninjau, ke Bukittinggi. Kelompok ketiga menghubungkan
kota-kota pesisir Pariaman, Ulakan, Koto Tangah, dan Padang melalui Kayu Tanam,
terus ke Lembah Anai dan Padang Panjang. Dari Padang Panjang jalan bercabang
lagi ke arah Bukittinggi dan Tanah Datar. Kelompok keempat adalah kelompok
Tanah Datar, menghubungkan kota-kota pesisir seperti Koto Tangah dan Padang ke
Tanah Datar, melalui kota-kota sekitar Danau Singkarak. Kelompok kelima adalah
kelompok Solok, terdiri dari dua jalan setapak. Yang pertama menghubungkan
Padang dan wilayah XIII Koto Solok. Yang kedua menghubungkan Bandar X dan Solok
Selatan.
Jalan-jalan setapak ini tercipta umumnya karena kebutuhan masyarakat pedalaman Minangkabau akan garam.
Selanjutnya jalan setapak ini berkembang menjadi
jalan dagang sekitar abad ke-15. Berbagai barang dibawa turun melalui jalan
perdagangan. Emas adalah salah satu produk pertama dan paling penting dibawa di hampir semua jalan setapak. Juga beberapa komoditas lainnya seperti kayu
obat, kapur barus, resin, lilin, madu, dan produk non-kayu hutan lainnya. Dari
pantai dibawa kain, katun, sutra, kering, ikan asin, dan tentu saja, garam.
Jalan-jalan setapak ini hanya bisa dilintasi orang
dan kuda beban. Perjalanan biasanya hanya dilakukan pada siang hari secara
berkelompok dengan didampingi oleh seorang atau lebih ahli bela diri, untuk
menghindari perampokan. (Jadi ingat cerita Giring-giring Perak-nya Makmur
Hendrik...). Mereka bisa berjalan sekitar tiga puluh kilometer sehari, dengan
waktu tempuh rata-rata untuk perjalanan dari pedalaman ke pantai pulang pergi
selama enam sampai sepuluh hari.
Jalan Air Bangis (1890) |
Jalan dekat Pangkalan Koto Baru (1903) |
Pangkalan, panambatan, dan pamuatan semuanya
terletak di tepi sungai dari ujung hulu sungai yang bermuara di pantai timur
Sumatra. Beberapa jalan setapak yang terkenal adalah jalan dari Rao ke Pamuatan
Rambah (di Sungai Rokan), jalan dari Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di
Sungai Kampar Kanan), dan jalan dari Tanah Datar dan Sijunjung ke Pangkalan Kureh
(di Sungai Kuantan).
Pada saat Perang Padri, jalan setapak dianggap
tidak memadai oleh kolonial Belanda untuk mobilitas tentara. Peningkatan jalan
setapak menjadi jalan terjadi setelah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch berkunjung
ke Sumatra’s Westkust pada 1833.
Jalan di Lembah Anai (1880) |
Jalan Lubuk Sikaping - Bonjol (1890) |
Jalan di Maninjau (1867) |
Pada akhir 1840-an, pemerintah kolonial memberikan
perhatian serius terhadap perbaikan jalan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Yang paling mendapat perhatian adalah jalan dari Padang ke Padang Panjang
melalui Lembah Anai. Pemerintah kolonial menyiapkan beberapa fasilitas untuk
memudahkan pengguna jalan, yaitu rumah istirahat, tempat di mana orang bisa
beristirahat dan mendapatkan kuda segar. Pos penjagaan militer juga dibangun untuk
keamanan pengguna jalan.
Jalan Pariaman - Padang Panjang (1880) |
Peningkatan fasilitas di sepanjang jalan itu
terkait erat dengan status jalan utama yang Padang-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh
dan Padang Panjang-Batu Sangkar untuk membawa kopi dari pedalaman ke Pariaman dan
Padang, pelabuhan di barat.
Jalan di Singkarak (1880) |
Konstruksi jalan mencapai puncaknya pada akhir abad
kesembilan belas. Pembukaan perkebunan besar beberapa dari pada 1870-an
mendukung perluasan pembangunan jalan. Cabang jalan dari jalan sekunder di
Solok, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, dan Pasaman dibangun ketika perkebunan
besar dibuka di daerah-daerah.
Sebagai hasil dari semua kegiatan pembangunan jalan
itu, pada tahun 1900 Gouvernement van Sumatera's Westkust merupakan provinsi dengan jarak
jalan terpanjang dan jumlah jembatan terbesar di luar Jawa.
Jalan kelas I (standar tertinggi) membentang
sekitar 153 km, sementara ada sekitar 651 km Jalan kelas II, dan sekitar 2,525
km jalan kelas III. Ada 6 jembatan lengkung (Boogbruggen) dengan
panjang lebih dari sepuluh meter, dan 115 jembatan lengkung dengan panjang
kurang dari sepuluh meter. Disamping itu terdapat 1.783 jembatan dengan kompleksitas teknis
menengah {liggers dan vakbruggen), dengan panjang rata-rata 8 meter. Untuk
tingkat teknik sederhana, ada 729 jembatan sementara (Noodbruggen) dan 2.092 gorong-gorong
(kleine doorlaten).
Jalan Tapan - Sungai Penuh (1918) |
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Jalan Panjang Yang Berliku
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/jalan-panjang-yang-berliku.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment