Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian IV
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Kami membalik untuk menyaksikan untuk terakhir kali pemandangan
yang indah ini, angin bertiup kuat, dan kami segera kembali ke Matoea
terus ke Fort de Kock. Badai mengancam, dan jalan terjal yang menanjak
ke atas Si Anoq. Kami memacu kuda-kuda kami melarikan diri agar
terhindar dari hujan.
Pada saat kedatangan kami di Fort de
Kock, di hotel kami berjumpa dengan kepala Laras Soengai Poear, atas
permintaan salah satu teman kami untuk mempersiapkan dan menyewa pemandu
dan porter bagi perjalanan kami ke Merapi .
Keesokan harinya
di siang hari kami pergi ke Soengai Poear. Angku Laras mengajak kami
makan, masakan harum dibuat dari daging rusa kering dan dibumbui dengan
selera yang sesuai.
Salah satu rekan saya dari Fort de Kock
tidak jadi berangkat. Ia mendapat luka di kaki, dan tampaknya cukup
serius, ia memutuskan untuk tinggal. Jadi kami hanya berdua, dan kami
melakukan pendakian selama tiga jam di sore hari itu. Kami berada di
ketinggian 1100 M., dan harus menghabiskan malam di sebuah pondok di
ketinggian sekitar 2000 M. Awalnya jalan cukup bagus, tetapi segera kami
mencapai akhir itu, dan segera menjadi sulit, jalan berbatu, curam,
semakin tinggi. Pada jam setengah enam kami akhirnya mencapai tujuan dan
kami merasa lelah. Kabut telah menyebar, dan kami melihat di kejauhan,
lereng gundul dan lebih rendah, perkebunan kopi, Soengai Poear dan
Fort de Kock.
Malam yang dingin berlalu dengan tenang. Untuk
waktu yang lama tidak ada yang melewati hutan ini, penuh dengan pakis,
tanaman merambat dan berbahaya, penuh juga rumput, yang bermata, dan
semak belukar, yang sangat berduri. Di sana-sini jalan setapak
menghilang, dan pemandu akan melihat ke belakang, menyelinap, bertiarap
di bawah semak-semak dengan parang dan lorong sempit. Alang-alang
menyembunyikan lubang tak terduga yang berbahaya, dan setiap kali kaki
tenggelam di 'jalan kosong ‘, maka itu akan membuat jungkir balik di
rumput basah. Hari belum terang, dan beberapa bintang bersinar. Jika
melihat ke belakang, terlihat di belakang kami awan putih polos
menggantung.
Akhirnya, setelah setengah jam, kami meninggalkan
hutan dan semak belukar. Tidak ada di depan kami selain kemiringan
setinggi 200 M, sungai lava hitam yang mengalir, bergerak di bawah kaki
kami. Pendakian masih berlanjut, dan kami mencapai dataran tinggi,
dikelilingi oleh dinding lagi. Sebuah tingkat kedua naik sedikit lebih
jauh, dan ketika kami lihat, sebuah mangkuk dangkal di tengah kawah yang
terbuka.
(Gambar : Kawah Gunung Merapi)
Ini
adalah lubang hitam dengan diameter 200 sampai 300 M., dengan asap
tebal yang tak bersuara. Aku berjalan di sekitarnya. Pinggiran kawah
sebelah selatan sedikit lebih tinggi dan lebih tipis, dan meruncing di
atas kedalaman yang menganga. Ada tangga sempit, diukir di batu, sangat
sempit sehingga tangan seseorang akan basah waktu menaikinya. Pada kedua
sisi menguap jurang; asap belerang membuat seseorang tersedak. Aku
mundur beberapa langkah, ke tempat yang cukup lebar untuk menempatkan
kaki, dan tanah basah lengket. Aku kembali beberapa meter ke bawah dan
beristirahat di atas sebuah dataran tinggi yang sempit, dari mana aku
bisa melihat panorama yang indah.
Segera hari menjadi pagi.
Sebuah secercah pucat muncul seperti surga. Angin membawa awan pergi,
dan dataran muncul dari kegelapan. Puncak tinggi, titik tertinggi dari
Merapi, di sebelah timur menyembunyikan bagian dari cakrawala dimana
matahari bersinar merah. Tampak berwarna ungu bagian atas gunung
Singgalang.
Semakin terang, sementara lembah di bawah kami
bayangan gelap besar masih melingkupi hutan. Di kejauhan kami melihat
laut, gulungan ombak yang tenang. Kami melihat lengkungan pantai, dan
garis pasir putih yang indah jelas terlihat sebelum massa hijau tua.
Lembah
Anei terbuka, dan sungainya terlihat seperti garis besar busa.
Rumah-rumah di Padang Pandjang di tengah-tengah. Danau Sing Kara
menunjukkan dirinya di Selatan, dan tebing di tepi kanan disinari oleh
matahari cerah, sedangkan yang ke kiri tetap dalam bayang-bayang
pegunungan yang curam. Dataran Fort de Kock, dihiasi dengan desa,
tersebar di depan kami, dengan sawah dan dihiasi dengan tebing putihnya.
Air terjun memantulkan cahaya seperti cermin logam dan aliran lampu
terang sekilas. Sebuah rangkaian gunung terlihat, Tandikat, Singgalang
yang tipis, pohon-pohon kecil berdiri sekitar kolam kecil, sehingga
tampaknya seperti cangkang berbingkai yang memegang danau Manindjoe.
Kemudian gunung Ophirberg dan batu kapur dan formasi batuan aneh
Pajacombo, dan di Selatan di kejauhan, Indrapoera yang gilang-gemilang
dan, lembah besar Korintji.
Adegan ini bukan hal baru bagiku. Aku ingat perjalanan ke Bromo dan kabut putih naik dari kawah raksasa.
(Gambar : Merapi mengingatkanku akan Gunung Bromo)
Tapi
kami harus pergi, membenamkan diri lagi dalam kabut. Penurunan bahkan
lebih sulit daripada pendakian. Pada tanah yang licin, ditutupi dengan
daun basah, terbenam hampir ke lutut. Kami muncul dengan tertutup lumpur
di pondok tempat rekanku menunggu. Kami melanjutkan perjalanan ke
bawah dengan langkah tidak pasti, kadang-kadang cepat, karena ditarik
berat badan sendiri. Akhirnya tiba Soengai Boeloe dimana kereta api
akan membawa kami kembali ke Fort de Kock.
(Fakta menarik :
1.
Pada waktu itu masih banyak rusa. Buktinya Angku Lareh Sungai Pua
menyuguhkan dendeng rusa kepada tamunya. Mungkin juga rendang rusa?
Hmmmm.....jadi terbayang harumnya rendang yang sedang dimasak....:)
2.
Mereka mulai mendaki Gunung Merapi selepas tengah hari. Selanjutnya
menginap di ketinggian 2000 M. Sebelum fajar sudah jalan lagi sehingga
sampai di puncak sebelum terang. Berbeda dengan sekarang, para pendaki
gunung Merapi naik malam hari dan non-stop sampai di puncak juga
menjelang terang.
3. Satu hal lagi yang berbeda dengan
pendaki sekarang adalah rute. Mereka naik dan turun dari sisi Sungai
Pua, sebuah rute tradisional yang sekarang tidak umum. Rute sekarang
adalah dari Koto Baru, di pinggir jalan Padang-Bukittinggi.
4.
Jaman itu belum banyak orang yang naik gunung. Terlihat dari jalan yang
harus dirintis dulu oleh pemandu lokal. Semak dan rumput tebal setinggi
lutut. Belukar yang sudah membentuk lorong. Bahkan ada juga jalan yang
'hilang' dan membuat kaki kejeblos. Untung bukan kejeblos jurang,
meneer!
5. Kawah merapi waktu itu berdiameter 200 - 300 m. Sekarang berapa ya?
6. Di sisi kawah ada tangga batu! Buatan siapakah? Penduduk lokal, Belanda, atau ..... alien...???!! *pikiranliar dot com*
7.
Dari puncak merapi kelihatan samudera Hindia, lembah Anai, Danau
Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Gunung Singgalang, Gunung
Tandikat, Gunung Pasaman (Ophirberg), Payakumbuh, Indrapura dan Kerinci.
Luar biasa!
8. Gambar terakhir sepertinya tidak sinkron
dengan gunung Merapi. Terlihat seseorang (mungkin penulis) berjongkok
sambil merokok dengan latar belakang sebuah gunung yang berasap. Keanehannya
adalah jika si penulis memanjat gunung Merapi, maka gunung yang berasap
di belakangnya itu gunung apa? Karena di Sumatera Barat gunung yang
sering mengeluarkan asap hanya gunung Merapi. Perhatikan juga
pakaian dan sepatunya. Kira-kira mungkin tidak orang naik gunung Merapi
yang jalannya harus dirintis dulu sampai tiarap-tiarap dengan jas dan
sepatu kulit? Rasanya tidak. Melihat lapisan pegunungan di belakangnya,
berkemungkinan gambar ini adalah memang di Gunung Bromo Jawa Timur dan
ditampilkan hanya sebagai ilustrasi. Karena ke Gunung Bromo orang bisa
berkuda sehingga wajar berpakaian begitu.... )
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian IV
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/van-batavia-naar-atjeh-1904-bagian-iv.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment