Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian III
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Lalu
muncullah kaum wanita. Mereka mengenakan sarung dan baju panjang dengan
peniti emas. Mereka menggunakan penutup kepala, yang kelihatan melebar
ke samping seperti memunculkan dua sayap, sementara kedua ujung
belakangnya menggantung ke bawah, dengan membawa beban di kepala mereka.
Mereka berjalan dengan cepat di sepanjang jalan, dengan perhiasan di
tangan dan dada. Cincin emas, hiasan rambut, anting-anting, kalung
manik-manik berwarna, ikat pinggang dan perhiasan emas lainnya.
(Gambar : Penduduk pergi ke pasar)
Sumatera
adalah daerah pengrajin emas. Di Fort de Kock, lereng gunung
Singgalang, penduduk desa Kota Gedang mengolah semua jenis perhiasan,
mereka juga membuat kain yang indah, membuat sulaman terawang, dan seni
halus lainnya untuk mempercantik gadis manis di daerah indah ini.
Fort
de Kock mempunyai ketinggian 930 M. Tinggi dan memiliki suhu yang
sangat nyaman. Namun situasi kesehatan masih jauh dari sempurna, demam
adalah biasa disini. Dokter Belanda banyak memberikan resep untuk nyamuk
yang melayang di atas genangan sawah di sekitar kota yang membentuk
rawa buatan yang besar. Dari perspektif ini, Padang Pandjang, meskipun
jauh lebih rendah, jauh lebih disukai. Kecuraman dari lereng sana
menghilangkan genangan air, dan berkat curah hujan yang melimpah dan
teratur tidak ada variasi yang besar pada suhu. Selain nyamuk,
bagaimanapun, kondisi orang Eropa di Fort de Kock dan koridor
kecokelatan yang teduh menunjukkan tingkat kesehatan yang baik di sini.
Orang
Eropa sebagian besar pergi berlibur kesini, dan banyak perwira datang
dan pergi dari Aceh. Ada banyak garnisun, dan mereka hidup nyaman dan
sederhana, dengan kenyamanan dan gaya hidup yang efektif, seperti yang
saya lihat di Jawa. Barak kecil, bangunan rendah, yang tidak memiliki
kesamaan dengan reuzentabernakels kami yang menghabiskan biaya besar di
Saigon, Hanoi, Dakar dan Saint Louis.
Di sini semua orang
tidak merasa tercela tinggal di rumah kecil. Sebuah rumah dengan taman
di mana orang dapat berjalan ke rumah tetangga dalam tiga puluh
langkah.
(Gambar : Rumah perwira di Fort de Kock)
Di
luar hampir tidak ada apa-apa, dan tidak ada alasan untuk membangun
sesuatu disana. Di Hindia Belanda barak menempati wilayah besar, mereka
tidak di dalam kota, seperti di Saigon atau Hanoi, tetapi di luar.
Bangunan biasanya dibuat di lereng landai, yang berdrainase baik dan
dibedah oleh parit-parit yang dalam dari semen, yang masih banyak
mengalir air. Ada taman bunga besar, banyak pohon dan udara segar,
paviliun dan di belakang masing-masing rumah memiliki kamar mandi kecil
dalam jumlah yang cukup. Kotak-kotak ini begitu kecil. Tidak ada rumah
yang memiliki ruang dengan dinding bercat putih, , betapapun kecilnya,
di mana terdapat sebuah bak mandi dengan air jernih, untuk mandi
berendam.
Di luar barak ada klub para bintara dan prajurit.
Para perwira juga pergi ke Club, Harmony, dimana pegawai negeri juga
menjadi anggota, tetapi para prajurit memiliki lingkungan mereka
sendiri. Mereka memiliki ruangan membaca dan permainan, lapangan untuk
permainan bola dan tennis, dan yang mungkin dapat menjelaskan bahwa
situasi kesehatan di Hindia Belanda lebih baik daripada di Indo-China.
Pada
malam hari, para tentara kelihatan tampan berseragam coklat, dengan
menggandeng atau memeluk pinggang seorang gadis. Di barak, para wanita
bebas menemui pasangannya, dan ada dapur terpisahnya, dimana
masing-masing menyiapkan hidangan untuk pasangannya tersebut. Area tidur
dipisahkan menjadi dua, untuk bujangan dan keluarga. Para perwira yang
membawa saya berkeliling, memuji kebebasan yang mereka dapatkan, yang
mereka anggap sangat diperlukan untuk menghapus kerinduan pada rumah dan
semua hal-hal sedih lain, dan saya pikir mereka benar.
(Gambar : Kamar di dalam barak tentara di Fort de Kock)
Bukan
berarti sistem seperti itu dapat diterapkan pada seluruh koloni. Harus
juga memperhitungkan karakter dan temperamen. Orang Belanda di sini
senang dengan kehidupan yang tenang dan monoton. Di Fort de Kock, di
Batavia dan di tempat lain ada sedikit perbedaan. Namun lingkungan
disini indah. Kami suka itu. Kami akan mengunjungi danau Manindjoe dan
kawah gunung Merapi.
Kami pergi dengan mengendarai kuda, pagi
pada tanggal 22 April. Ketika pertama kali meninggalkan kota kami turun
ke jurang yang dalam, yang mengalir anak sungai dari Masang, Si Anoq.
Sungai berliku dengan kedalaman antara 2 M-300 M. Lembah yang luas,
dikelilingi oleh dinding putih, yang curam dengan kedalaman 100 M.
Lembah ini disebut Karbouwengat. Kami mengarungi sungai ke hulu dan
mengikuti tepi sampai bertemu dengan sungai lain. Kabut pagi membuat
batu berwarna terang dengan pegunungan yang tajam dan bentuk terpahat
memberi kesan yang mendalam. Setiap jejak air ke dalam batu pasir yang
lembut memiliki alur dalam, di mana banyak tanaman tumbuh. Di sana-sini
blok terpisah, dimahkotai dengan pohon-pohon.
Di atas dataran
tinggi kami melihat ke arah ngarai, sempit berkelok-kelok, karena ada
begitu banyak di sini. Mereka membentuk tanjung dan pulau-pulau, dataran
hijau tempat kerbau digembalakan. Kami segera turun ke dalam lembah
Masang. Bambu dan semak yang menunjukkan tempat dimana sering dilewati,
sekarang rata dengan tanah karena banyak hujan.
Di desa
pasangrahan Matoea kami meninggalkan barang-barang kami. Pengawas
laki-laki pribumi telah menunggu kami, dia telah menyewa kuda segar dan
setelah istirahat beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan. Daerah
ini menawan. Kanan dan kiri jalan tanah naik secara bertahap, dan ada
gundukan bulat di atas dengan kanopi hutan. Kampung terdiri dari deretan
rumah sepanjang sawah, dan di mana-mana kita melihat atap dengan ujung
runcing, sehingga tampak akan terbang segera. Belakang punggung bukit
nampak tidak teratur, mendekati cakrawala, kabut naik dan menyebar ke
semua sisi. Kami masih berada di ketinggian, saat tampak seolah-olah
tujuan menghilang di depan kami, dan tiba-tiba tenggelam dan kemudian
tanah di bawah kaki juga menghilang, kami melihatnya. Danau Manindjoe.
Lingkaran
danau yang tenang, adalah sebuah kawah kuno berdimensi raksasa. Danau
itu sendiri memiliki panjang 16 KM dan lebar 8 mil. Sekitar pantai, air
mengikis tebing, dengan ketinggian antara 11 M-1200 M. Tinggi di atas
tepi danau. Jalan di mana kami lewat dan seolah-olah akan jatuh tadi
berada 700 M di atas danau. Lereng ke sisi danau sangat terjal dengan
jurang dan jalan yang berkelok-kelok mengitari pegunungan, di mana
sawah bertingkat-tingkat, dengan taman di sekitarnya.
Yang
tidak menggembirakan adalah langit gelap dan mengancam. Di sekitar
danau berkabut tebal. Ketika melihat ke selatan hanya terlihat dinding
hitam, naik di atas air, di mana kabut putih pucat merayap. Sesekali
petir menerangi dinding ngarai, dan terbayang adegan mengerikan saat
aliran lava pijar datang bergelombang dulunya. Sinar itu menerangi sawah
yang berwarna emas pucat, kebun kelapa, atap besi dan kayu, dan kami
terus berlanjut mendekati permukiman. Kami dengan cepat menurun ke
bawah, memotong jalan tanah licin, kuda kami gesit dan cepat seperti
kambing. Tidak ada angin, kami hanya melihat sedikit riak di permukaan
air, di atas kabut menggantung, lalu tiba-tiba beberapa tetes air mulai
jatuh. Kami berada di hutan di ngarai yang sempit,tiba-tiba hujan lebat,
membuat kami basah kuyup sampai di Manindjoe.
Auditor
Manindjoe telah diberitahu sebelum kedatangan kami. Kebaikan luar biasa
dari penerimaan nya membuat kami segera melupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan tadi, dan saat kami menyesal bahwa kami hanya sedikit
menyaksikan pemandangan yang indah karena kabut, dia mengajak kami untuk
melanjutkan pada sisa hari. Saat matahari muncul lagi, langit cerah,
dan kami jadi lebih dapat melihat dengan cara yang berbeda. Kami
menerima tawaran agar seorang pelayan dikirim ke Matoea untuk mengambil
barang-barang. Kami menghabiskan sore yang menyenangkan. Hujan telah
berhenti. Kami berdayung di danau. Air, bergerak dalam membuat jurang di
antara perahu.
Malam jatuh, malam yang indah dan hening,
garis-garis warna merah dalam kabut abu-abu membuat suasana seperti di
surga. Tidur nyenyak tanpa terganggu oleh apa-apa, tidak ada angin,
tidak ada tangisan, dan hanya beberapa lampu malu-malu bersinar
sepanjang tepian, di bawah pohon palem tinggi.
Keesokan
paginya saat fajar kami meninggalkan Manindjoe dengan rasa sedih. Inilah
surga tempat dimana orang-orang bisa hidup dengan tenang , dengan udara
yang lembut dan indah! Tidak ada tempat di dunia ini yang pernah saya
rasakan begitu memberi kedamaian dan kebahagiaan.
(Fakta menarik :
1. Memang sudah kodratnya bahwa kaum ibu itu kalau ke pasar selalu full asesoris. Sejak jaman dulu ternyata....:)
2. Koto Gadang sudah terkenal sebagai daerah produsen perhiasan dan sulaman.
3. Meskipun banyak nyamuk, tapi orang-orang Belanda di Bukittinggi sehat-sehat.
4.
Bukittinggi sudah jadi lokasi berlibur bagi orang-orang Belanda,
terutama dari Aceh. Ini tentu karena di Aceh waktu itu masih perang basosoh. Jadi refreshing itu perlu untuk yang baru pulang dari front pertempuran.
5. Lokasi garnisun di Bukittinggi (lapangan kantin sekarang) berada di luar kota.
6.
Rumah perwira dianggap terlalu kecil di mata orang Belanda. Juga kamar
mandinya, yang tidak pakai bath-tub. Meski demikian, toh mereka
enjoy-enjoy saja....
7. Para prajurit dan para perwira
memiliki club atau tempat ngumpul yang berbeda. Disana mereka membaca
dan main bola atau tenis.
8. Para tentara bebas membawa wanita ke dalam barak. Katanya obat kangen kampung halaman....
9.
Perjalanan ke danau Maninjau dilakukan lewat bawah ngarai Sianok dan
naik lagi menjelang Matur. Jadi bukan lewat jalan umum. Ini yang
menyebabkan pemandangannya menjadi menakjubkan.
10.
Deskripsi tentang danau Maninjau, kabutnya, awan mendung dan hujannya
serta suasananya sungguh detail dan luar biasa. Sampai sekarang Maninjau
masih seperti itu.....)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian III
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/van-batavia-naar-atjeh-1904-bagian-iii.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment