Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian II
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Gambar : Mesjid dan desa di kaki Gunung Singgalang
Kami
menginap di Solok dan pergi lagi pagi-pagi. Beberapa kilometer
selanjutnya kami menurun sepanjang Lassi, tapi kemudian sebuah ngarai
sempit membuka, dan kami melalui terowongan sepanjang 800 sd 900 M. Kami
memasuki lembah Sawah Loento.
Lapisan batu bara di Sawah
Loento tersebar di area permukaan yang sangat luas sepanjang lembah
sungai Ombilien. Hanya bagian selatan dioperasikan. Terbagi dalam tiga
lapisan paralel, yang terendah dengan ketebalan 6 sampai 8 M. Batubara
diambil dari tambang, lalu ditempatkan dalam gerobak yang ditarik oleh
kerbau, untuk jarak sekitar 1500 m. Kemudian dipindahkan ke gerbong,
untuk dikirim ke Emmahaven.
Kami berjalan dengan susah payah di
sepanjang jalan sempit dalam tambang. Di atas genangan lumpur hitam
yang meliputi tanah, kerbau menarik kereta di atas genangan air. Mereka
terlihat ketakutan dan bodoh. Dengan kepala menunduk, mereka segera
kembali bergerak lambat, melangkah lebar-lebar, menumpukan berat di
tanah, di atas air berlumpur.
Kami mengakhiri wisata tambang
antara dua dinding hitam besar. Tentu saja meskipun panas gerah, kami
senang ketika melihat matahari lagi. Para penambang, kebanyakan
laki-laki Cina dan Melayu, masih terus melanjutkan pekerjaannya.
Kebanyakan narapidana Melayu. Mereka rindu dengan matahari dan daerah
dengan pemandangan yang luas. Sementara orang Cina menerima upah. Para
buruh bekerja di bawah pengawasan pengawas, yang juga narapidana, tetapi
kekuasaannya diakui oleh semua. Tidak sulit untuk memimpin para buruh
miskin ini. Keterasingan, hukuman, dan demam telah menghancurkan
kekuatan mereka, juga ketidakpedulian terhadap kebersihan. Dan hanya
sesekali terjadi perkelahian, yang biasanya berakhir dengan pengadilan.
Penduduk
disana semakin padat. Meskipun batubaranya berkualitas rendah,
produksi dan penjualan meningkat setiap hari. Sekarang mencapai 18 000
ton per bulan dan hampir 3000 penambang bekerja di sana. Yang terakhir
ini adalah pegawai negeri, dan juga mengoperasikan kereta api, sedangkan
seorang insinyur bertanggung jawab untuk mengawasi seluruh pekerjaan
dan kegiatan di Emmahaven. Meski Sawah Loento berjarak 156 mil dari
pelabuhan, dengan tanjakan lebih dari 58 mil langsung melalui
Soebangpas, tetapi dipilih rute melalui Padang Padjang sehingga nantinya
dapat dibantu dengan kereta dari wilayah Fort de Kock dan Pajacombo.
Setelah kunjungan kami ke tambang tersebut, kami kembali ke Solok, untuk
bermalam di situ.
Solok
bukanlah sebuah kota melainkan sebuah desa besar. Tanah di sekitar itu
baru sedikit yang digarap, dan peradaban belum seperti di Jawa.
Hewan-hewan liar masih banyak. Kami melihat harimau muda yang
tertangkap dua hari sebelumnya. Dia berada di belakang di taman dalam
kandang berat, dan begitu ia melihat kami, dia melompat ke arah
kerangkeng dan menyambut kami dengan “ramah”nya. Rasa lapar dan obat
bius tidak merubahnya menjadi tenang. Dia gugup dan ia meregangkan
ototnya, matanya berapi-api dan bibir terangkat, sementara gemuruh auman
membosankan dari mulut yang terbuka, dan lubang hidung bergetar dengan
keinginan pada bau daging manusia hidup.
***
Gambar : Desa antara Fort van der Cappelen (Batusangkar) dan Pajacombo
Kami
menghabiskan delapan hari di Padang Bovenlanden dan sekarang siap untuk
pergi lagi. Setelah perjalanan pertama kami ke Padang, kami akan
tinggal disana hanya satu hari.
Kami menginap di Hotel Aceh.
Sebuah bangunan persegi besar di panggung berdiri tegak di tengah
alun-alun yang ditanami pohon. Sebuah beranda raksasa, dengan meja dan
kursi goyang. Ruang makan ada di sisi lain dan koridor mengarah ke sana,
menghadap ke kamar. Di kedua sisi dari gedung persegi terdapat kamar
sempit panjang, di mana kita menginap. Dinding dan langit-langit terbuat
dari kayu dan begitu panas, sedangkan suara-suara bisa terdengar dari
satu ujung ke ujung lainnya. Tikus-tikus berjalan-jalan dan tampak
tertarik pada kulit sepatu saya dan pakaian kanvas kami. Sepanjang hari
itu hotel seperti mati. Jam lima baru ada gerakan. Semua orang
berpakaian santai melewati tangga curam lambat-lambat dan pergi ke kamar
mandi. Orang-orang mengenakan jaket putih pendek dan celana lebar kain
Jawa dengan gambar hitam besar berwarna coklat atau biru. Para wanita
yang terbungkus dalam sarung berwarna-warni, dalam berbagai tampilan
bentuk, menuju kamar mandi.
Tapi tontonan tersebut tidak cukup
untuk membuat kami bertahan di Padang, dan kami menyelesaikan persiapan
untuk berangkat lagi dengan tergesa-gesa.
Kami tiba siang
hari di Fort de Kock. Ia adalah ibu kota daerah atas, dan merupakan
lokasi penempatan terbesar pasukan garnisun. Kota ini dibangun di
tengah cekungan, dikelilingi oleh pegunungan tinggi di sebelah Barat,
Selatan dan Utara. Ke arah Timur menurun ke daerah lembah Masang Sinamar
dan dataran Pajacombo.
Tanahnya subur terdiri dari batu pasir
yang relatif muda, lembut, dimana alur sungai mengikis mendalam, dan
terutama di sebelah utara anda dapat melihat lembah besar dengan dinding
curam di mana-mana. Pada awal abad ini daerah ini tertutup hutan
lebatdi sisi lembah dan pegunungan, dan daerah ini lebih dari nyaman
untuk perang gerilya dengan penyergapan dan pengkhianatan, yang begitu
lama telah mengamuk.
Perang akhirnya selesai. Belanda telah
menaklukkan. Kelompok-kelompok bangsa Minang telah mempertahankan tanah
dan kepala mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka adalah orang bebas.
Mereka berbahasa Melayu, tetapi dengan nada keras. Dalam perjanjian
perdamaian tidak ada kewajiban bagi mereka selain pemeliharaan jalan dan
penanaman kopi. Mereka benar-benar tahu bahwa kemenangan sebenarnya
ada di pihak mereka.
Mereka adalah petani terampil dan pedagang
yang cerdas. Meskipun demikian, tidak terlihat kereta orang Cina untuk
masuk ke dalam persaingan dengan mereka. Pada hari pasar terlihat garis
panjang pribumi di sepanjang jalan yang sibuk.
Para pria memiliki
kebanggaan diri, berdiri tegak dan mereka tidak menunduk ke bawah untuk
merendahkan diri ketika bertemu dengan orang Eropa. Beberapa orang
memegang sangkar burung di tangan dengan handuk di atasnya, . Mereka
membawa burung katitiran, burung seukuran merpati, sebagai penjaga di
hampir setiap rumah. Ia dipercaya membuat bisnis berhasil, melindungi
keluarga dari penyakit tanaman dan kekeringan. Namun itu tidak
berlangsung selamanya. Setelah empat tahun ia kehilangan semua
kekuatannya, dan sampai batas waktunya tuannya akan berduka atas
kematiannya. Tubuhnya diawetkan dan disimpan di atap rumah , dan sang
tuan bergegas pergi ke pasar untuk membeli burung yang baru.
Hari
pasar selalu menjadi hari yang sibuk. Ada kerumunan, bergerak
bersama-sama. Kereta, kerbau atau sapi dimanfaatkan untuk berjalan. Di
antara payung cantik besar warna-warni terlihat buah, gerabah, kain
kapas, perhiasan dan kue. Ada buah raksasa, yang jelek baunya tergantung
di pohon-pohon, yaitu durian, dengan duri tajam sepenuhnya dengan
daging buah berwarna putih krem dan memerlukan keberanianuntuk
mencicipinya. Ini tampaknya merupakan kehendak alam, yang menghasilkan ,
buah juicy dengan daging yang lezat namun memiliki bau yang mengerikan.
Selain
itu ada mangga. Ia adalah sesuatu yang sehalus salju dan meleleh di
mulut dan dingin, dengan rasa aneh yang harum . Dan kemudian ada adalah
bertandan-tandang pisang, jeruk dengan ukuran besar, kelapa dan
lain-lain.
Para pria berjongkok di bawah pohon melihat burung
Katitiran, yang dipuji-puji oleh pedagang. Perempuan menjual minuman dan
potongan aneh produk yang lengket, berwarna hitam atau merah, dan
mereka membuat kopi dari daun kopi, yang digantung pada potongan bambu
dan yang tersebar di tanah. Paket kecil tembakau coklat dibungkus daun
enau juga dijual dan dipotong kecil-kecil, tipis, yang digulung oleh
perokok sebagai rokok mereka. Di jalan terlihat laki-laki berjalan
dengan kera besar di belakangnya, yang patuh mendaki pohon kelapa
tinggi, untuk mengambil kelapa yang sudah matang.
.....................................
(Fakta menarik:
1.
Batubara dikeluarkan dari dalam tambang dengan menggunakan kereta yang
ditarik oleh kerbau. Tambang yang beroperasi juga baru tambang dangkal
dengan kedalam 6-8 meter.
2. Ternyata selain narapidana
(orang rantai istilah di Minang umumnya), di tambang batubara juga
banyak bekerja orang Cina, meskipun mereka menerima upah.
3. Kembali istilah Soebangpas muncul. Dimana ya?
4. Solok masih merupakan desa besar dengan binatang buas yang berkeliaran.
5.
Fort de Kock atau Bukittinggi merupakan tempat konsentrasi pasukan
garnisun Belanda terbanyak. Pasti hal ini berkaitan dengan Perang Padri.
6.
Di Padang ada hotel yang bernama Hotel Aceh. Agak unik juga. Yang punya
orang Aceh atau bagaimana? Soalnya rasa ke-Indonesia-an kan belum
tumbuh waktu itu, sehingga agak kurang lazim menggunakan atribut daerah
lain di suatu daerah. Biasanya malah nama Belanda, seperti Hotel
Oranje.
7. Perang Padri selesai. Namun orang Minang hanya
diminta memelihara jalan dan menanam kopi sebagai pihak yang "kalah".
Meskipun akhirnya ada juga belasting atau pajak, bahkan sampai terjadi
pemberontakan di beberapa daerah.
8. Meskipun ditaklukkan
Belanda, orang Minang tidak kehilangan ke-PeDe-annya. Mereka tetap
egaliter. Terbukti bahwa mereka tidak menunduk atau merendahkan diri
ketika berpapasan dengan orang Eropa. Nada bicaranya juga keras. Maklum,
orang Sumatera, bung!
9. Orang Minang diakui sebagai
petani yang terampil dan pedagang yang cerdas. Bahkan orang Cina tidak
berani bersaing di pasar (tradisional).
10. Orang Minang
suka memelihara burung Katitiran sebagai penjaga rumah. Agak diragukan
juga pendapat penulis bahwa burung Katitiran bagi orang Minang dianggap
sebagai "juru selamat". Karena, agak berbeda dengan orang Jawa
(tradisional), memelihara burung bukan sesuatu yang wajib bagi orang
Minang.
11. Penulis sangat takjub dengan buah-buahan
lokal seperti durian yang disebut "buah lezat berbau mengerikan" atau
mangga yang disebut "selembut salju, lumer di mulut dengan bau wangi
yang aneh." Alamak!
12. Orang Minang minum kopi yang
dibuat dari daun kopi (kawa) dan merokok daun enau. Ini tentu karena
biji kopi sudah habis dikirim ke Eropa semuanya oleh Belanda...)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Van Batavia Naar Atjeh (1904) - Bagian II
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/van-batavia-naar-atjeh-1904-bagian-ii.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment