Perang Kamang
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Memperingati perlawanan
rakyat Kamang yang dikenal dengan Pemberontakan Pajak Ke-104 yang jatuh
pada 15 Juni 2012, penulis ingin menyegarkan kembali ingatan tentang
peristiwa yang oleh Taufik Abdullah (2010) dipandang sebagai awal bagi
Era Kebangsaan Indonesia. Kesadaran anti terhadap penjajahan Bung
Hatta-pun dipercaya berawal dari peristiwa ini, ketika sang proklamator
melihat “urang rantai” yang digiring Belanda lewat di depan rumah beliau, dan Inyiaknya berkata: “Tu urang Kamang nan malawan Bulando” (Memoir Muhammad Hatta, 1979).
rakyat Kamang yang dikenal dengan Pemberontakan Pajak Ke-104 yang jatuh
pada 15 Juni 2012, penulis ingin menyegarkan kembali ingatan tentang
peristiwa yang oleh Taufik Abdullah (2010) dipandang sebagai awal bagi
Era Kebangsaan Indonesia. Kesadaran anti terhadap penjajahan Bung
Hatta-pun dipercaya berawal dari peristiwa ini, ketika sang proklamator
melihat “urang rantai” yang digiring Belanda lewat di depan rumah beliau, dan Inyiaknya berkata: “Tu urang Kamang nan malawan Bulando” (Memoir Muhammad Hatta, 1979).
Pengakuan Pemerintah RI terhadap peristiwa tersebut tertulis di dalam lembaran sejarah secara
resmi. Bukti pengakuan tersebut setidaknya telah diberikan di dalam
beberapa bentuk seperti Sambutan Menteri Pertama Chaerul Saleh dalam
Peringatan Perang Kamang pada 15 Juni 1962 di Gedung Kesenian Jakarta,
kunjungan Menteri Koordinator Keamanan dan Pertahanan RI Jenderal AH
Nasution pada 15 Juni 1963 di Kamang, sekaligus meresmikan Taman Makam
Pahlawan dan Tugu Peringatan Perang Kamang.
resmi. Bukti pengakuan tersebut setidaknya telah diberikan di dalam
beberapa bentuk seperti Sambutan Menteri Pertama Chaerul Saleh dalam
Peringatan Perang Kamang pada 15 Juni 1962 di Gedung Kesenian Jakarta,
kunjungan Menteri Koordinator Keamanan dan Pertahanan RI Jenderal AH
Nasution pada 15 Juni 1963 di Kamang, sekaligus meresmikan Taman Makam
Pahlawan dan Tugu Peringatan Perang Kamang.
Namun, dengan berjalannya
waktu serta terlewatinya berbagai peristiwa yang datang kemudian, maka
pemahaman masyarakat (termasuk oleh rakyat Kamang sendiri) tentang
peristiwa penting itupun memudar. Di antaranya kekeliruan atau
kesalahpahaman dalam memahami nama tempat (toponimi) dan kurang
mendalami letak serta kondisi geografis Nagari Kamang yang sebenarnya.
Padahal, penderitaan rakyat Kamang sesudah peristiwa itu tidak kurang
pula beratnya. Banyak keluarga yang terpaksa bercerai-berai karena harus
melarikan diri dari kampung-halaman untuk mencari ketenteraman hidup,
sementara suasana di nagari juga menjadi semakin tidak menentu.
waktu serta terlewatinya berbagai peristiwa yang datang kemudian, maka
pemahaman masyarakat (termasuk oleh rakyat Kamang sendiri) tentang
peristiwa penting itupun memudar. Di antaranya kekeliruan atau
kesalahpahaman dalam memahami nama tempat (toponimi) dan kurang
mendalami letak serta kondisi geografis Nagari Kamang yang sebenarnya.
Padahal, penderitaan rakyat Kamang sesudah peristiwa itu tidak kurang
pula beratnya. Banyak keluarga yang terpaksa bercerai-berai karena harus
melarikan diri dari kampung-halaman untuk mencari ketenteraman hidup,
sementara suasana di nagari juga menjadi semakin tidak menentu.
Di antaranya Sjech M.Djamil Djambek ulama terkenal dari Bukittinggi yang selama
bertahun-tahun datang secara rutin ke Kamang untuk membangkitkan
motivasi dan memberi bimbingan rohani bagi masyarakat yang menanggung
beban penderitaan dan trauma hebat akibat perang tersebut, utamanya
mereka yang memilih untuk tidak meninggalkan nagari “nan elok” ini.
bertahun-tahun datang secara rutin ke Kamang untuk membangkitkan
motivasi dan memberi bimbingan rohani bagi masyarakat yang menanggung
beban penderitaan dan trauma hebat akibat perang tersebut, utamanya
mereka yang memilih untuk tidak meninggalkan nagari “nan elok” ini.
Menurut tambo nagari, kata Kamang digunakan oleh penduduk yang datang pertama kali ke daerah ini dengan memberi nama kamang untuk
pohon kayu besar tempat mereka berteduh. Versi lain menyebutkan
kosa-kata itu diambil dari pertanyaan kepala rombongan kepada
anggotanya, yaitu : “Kamanga awak lai?”. Untuk selanjutnya
disepakatilah wilayah ini dengan nama Nagari Kamang. Diperkirakan
rombongan pertama yang datang ke daerah ini (di Dusun Gobah) terjadi
pada abad ke-XIV Masehi dimasa kejayaan Kerajaan Pagaruyuang, program
yang merupakan perluasan pengaruh wilayah kerajaan. Nagari ini memiliki
ciri-ciri geografis yang jelas, seperti dataran yang dibatasi oleh
sungai atau batas alam (parit, parak rajo, dan aua baduri yang mirip
benteng pertahanan) dengan nagari tetangga. Hingga saat ini batas-batas
yang jelas dengan nagari bersebelahan masih dapat diketahui. Pemahaman
masyarakat nagari sekitar, seperti dari Magek, Salo, Kotobaru,
Tilatang, termasuk Bansa-Pauah (yang dalam tambo juga disebut Nagari
Bukik) maupun masyarakat Luhak Agam pada umumnya, bahwa yang disebut
Kamang hanyalah untuk Nagari Kamang Hilia sekarang ini.
pohon kayu besar tempat mereka berteduh. Versi lain menyebutkan
kosa-kata itu diambil dari pertanyaan kepala rombongan kepada
anggotanya, yaitu : “Kamanga awak lai?”. Untuk selanjutnya
disepakatilah wilayah ini dengan nama Nagari Kamang. Diperkirakan
rombongan pertama yang datang ke daerah ini (di Dusun Gobah) terjadi
pada abad ke-XIV Masehi dimasa kejayaan Kerajaan Pagaruyuang, program
yang merupakan perluasan pengaruh wilayah kerajaan. Nagari ini memiliki
ciri-ciri geografis yang jelas, seperti dataran yang dibatasi oleh
sungai atau batas alam (parit, parak rajo, dan aua baduri yang mirip
benteng pertahanan) dengan nagari tetangga. Hingga saat ini batas-batas
yang jelas dengan nagari bersebelahan masih dapat diketahui. Pemahaman
masyarakat nagari sekitar, seperti dari Magek, Salo, Kotobaru,
Tilatang, termasuk Bansa-Pauah (yang dalam tambo juga disebut Nagari
Bukik) maupun masyarakat Luhak Agam pada umumnya, bahwa yang disebut
Kamang hanyalah untuk Nagari Kamang Hilia sekarang ini.
Setelah meletusnya Perang
Kamang, maka struktur pemerintahan berubah-ubah. Nagari Kamang dihapus
(berubah nama menjadi Nagari Aua Parumahan) dan merupakan bagian wilayah
Administrasi Onderdistrick Baso. Sementara itu, Nagari Suayan-Sungai
Balantiak menjadi bagian dari Luhak 50 Koto. Meskipun nagari ini
dipisahkan oleh berlapisnya bukit (Bukit Barisan) dengan Nagari Kamang,
tetapi perhubungan dan pergaulan antar masyarakatnya sejak zaman dahulu
sangat baik. Bahkan kekerabatan di dalam persukuanpun sangat erat (ba-balahan).
Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Tan Malaka (satu dari empat Bapak
Bangsa), beliau dari pihak ibu berasal dari Dusun Simabua Nagari
Kamang, yang karena perkembangan kaum perlu mencari tempatan baru dan
kemudian memutuskan untuk menetap di Nagari Pandan Gadang (Suliki,
Luhak 50 Koto).
Kamang, maka struktur pemerintahan berubah-ubah. Nagari Kamang dihapus
(berubah nama menjadi Nagari Aua Parumahan) dan merupakan bagian wilayah
Administrasi Onderdistrick Baso. Sementara itu, Nagari Suayan-Sungai
Balantiak menjadi bagian dari Luhak 50 Koto. Meskipun nagari ini
dipisahkan oleh berlapisnya bukit (Bukit Barisan) dengan Nagari Kamang,
tetapi perhubungan dan pergaulan antar masyarakatnya sejak zaman dahulu
sangat baik. Bahkan kekerabatan di dalam persukuanpun sangat erat (ba-balahan).
Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Tan Malaka (satu dari empat Bapak
Bangsa), beliau dari pihak ibu berasal dari Dusun Simabua Nagari
Kamang, yang karena perkembangan kaum perlu mencari tempatan baru dan
kemudian memutuskan untuk menetap di Nagari Pandan Gadang (Suliki,
Luhak 50 Koto).
Uraian ini dapat pula diistilahkan sebagai “dakek buliah dikakokkan, jauah buliah ditunjuakkan” dengan memberikan data dan fakta di lapangan tentang kosa-kata kamang
ataupun Nagari Kamang, sekaligus sebagai koreksi terhadap buku
Pemberontakan Pajak 1908 Perang Kamang (karangan Rusli Amran tahun 1988)
yang dalam beberapa penyebutan nama tempat (lokasi) kurang tepat.
Sehingga telah mengaburkan peristiwa yang sebenarnya. Termasuk pula
kerancuan dalam penyebutan nama yang berawal pada tahun 1949, sewaktu
beberapa orang tokoh masyarakat (yang mengatasnamakan nagari)
mengadakan kesepakatan di Dusun Anak-aie (Nagari Kamang) untuk
menambahkan kata “hilia” untuk Nagari Kamang, sehingga menjadi
Nagari Kamang Hilia/Hilir. Sementara untuk Nagari Bukik (yang disebut
juga Nagari Surau Koto Samiek) diubah menjadi Nagari Kamang
Mudiak/Mudik. Berikutnya sebuah “ngalau” (goa) yang sejak dahulu dikenal sebagai Ngalau Durian, setelah kesepakatan itu dipopulerkan dengan nama Ngalau Kamang.
ataupun Nagari Kamang, sekaligus sebagai koreksi terhadap buku
Pemberontakan Pajak 1908 Perang Kamang (karangan Rusli Amran tahun 1988)
yang dalam beberapa penyebutan nama tempat (lokasi) kurang tepat.
Sehingga telah mengaburkan peristiwa yang sebenarnya. Termasuk pula
kerancuan dalam penyebutan nama yang berawal pada tahun 1949, sewaktu
beberapa orang tokoh masyarakat (yang mengatasnamakan nagari)
mengadakan kesepakatan di Dusun Anak-aie (Nagari Kamang) untuk
menambahkan kata “hilia” untuk Nagari Kamang, sehingga menjadi
Nagari Kamang Hilia/Hilir. Sementara untuk Nagari Bukik (yang disebut
juga Nagari Surau Koto Samiek) diubah menjadi Nagari Kamang
Mudiak/Mudik. Berikutnya sebuah “ngalau” (goa) yang sejak dahulu dikenal sebagai Ngalau Durian, setelah kesepakatan itu dipopulerkan dengan nama Ngalau Kamang.
Begitu berartikah nama Kamang? Atau memang apalah artinya nama! Kata bersayap yang sering
diucapkan untuk mengecilkan arti sebuah nama. Inilah yang perlu
dilakukan analisis sepanjang sejarah kata kamang digunakan.
Sewaktu perjalanan sejarah dapat dibelok-belokan, cermatilah dengan
seksama penulisan buku sejarah yang tidak akurat seperti dilakukan oleh
Rusli Amran, yang bukan sejarawan tetapi hanyalah “pangumpua nan taserak”.
Meskipun yang bersangkutan telah berjanji untuk mengkaji ulang, tetapi
penulis itu meninggal sebelum sempat melakukan revisi karyanya tersebut.
diucapkan untuk mengecilkan arti sebuah nama. Inilah yang perlu
dilakukan analisis sepanjang sejarah kata kamang digunakan.
Sewaktu perjalanan sejarah dapat dibelok-belokan, cermatilah dengan
seksama penulisan buku sejarah yang tidak akurat seperti dilakukan oleh
Rusli Amran, yang bukan sejarawan tetapi hanyalah “pangumpua nan taserak”.
Meskipun yang bersangkutan telah berjanji untuk mengkaji ulang, tetapi
penulis itu meninggal sebelum sempat melakukan revisi karyanya tersebut.
Dari laporan Pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-XVIII (Kebangkitan Islam Dalam
Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847 oleh
Christine Dobbin, 1992), nagari ini dideskripsikan memiliki topografi
relatif datar dan dilewati oleh sungai permanen, yang menjadikan daerah
ini memiliki lahan sawah yang luas dan sangat potensial. Wilayah ini
dilingkungi oleh deretan perbukitan kapur yang hutannya terpelihara
dengan baik. Pada bagian lain diceritakan bahwa daerah ini memiliki
kekayaan dalam hal tanaman komoditi utama pada waktu itu (seperti kopi,
kayu manis, tebu, padi dan hortikultura), yang hasilnya memberi
keuntungan yang cukup bagi masyarakatnya. Mata pencaharian utama
penduduk adalah sebagai petani, pengrajin maupun tukang kayu.
Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847 oleh
Christine Dobbin, 1992), nagari ini dideskripsikan memiliki topografi
relatif datar dan dilewati oleh sungai permanen, yang menjadikan daerah
ini memiliki lahan sawah yang luas dan sangat potensial. Wilayah ini
dilingkungi oleh deretan perbukitan kapur yang hutannya terpelihara
dengan baik. Pada bagian lain diceritakan bahwa daerah ini memiliki
kekayaan dalam hal tanaman komoditi utama pada waktu itu (seperti kopi,
kayu manis, tebu, padi dan hortikultura), yang hasilnya memberi
keuntungan yang cukup bagi masyarakatnya. Mata pencaharian utama
penduduk adalah sebagai petani, pengrajin maupun tukang kayu.
Dilihat dari ketinggian daerah ini tampak seperti perkebunan tertutup, karena permukiman
penduduk terletak di bawah keteduhan pohon durian, manggis, kelapa,
sagu/enau, bambu dan bermacam pohon pisang. Juga tertutup kerimbunan
pepohonan/kayu bernilai cukup tinggi. Kesuburan tanah dan keindahan
alamnya, seperti kenampakan perbukitan hijau-kebiruan yang riuh dengan
kicauan burung dan suara satwa. Dengan sungai berkelak-kelok dan airnya
yang bersih serta tempat hidup subur berbagai jenis ikan, sehingga
cukup alasan untuk mengatakan daerah ini sebagai Tanah Kanaan II.
penduduk terletak di bawah keteduhan pohon durian, manggis, kelapa,
sagu/enau, bambu dan bermacam pohon pisang. Juga tertutup kerimbunan
pepohonan/kayu bernilai cukup tinggi. Kesuburan tanah dan keindahan
alamnya, seperti kenampakan perbukitan hijau-kebiruan yang riuh dengan
kicauan burung dan suara satwa. Dengan sungai berkelak-kelok dan airnya
yang bersih serta tempat hidup subur berbagai jenis ikan, sehingga
cukup alasan untuk mengatakan daerah ini sebagai Tanah Kanaan II.
Sewaktu jeruk merupakan hasil pertanian utama Kabupaten Agam pada dasawarsa ‘80 – ‘90-an, yang
dicari adalah Jeruk Kamang. Perintis budidaya pertanian dan perkebunan
ini, yaitu Haji Adnan St Samiek memperoleh Penghargaan Kalpataru dari
Pemerintah. Jauh sebelum periode jeruk, jika orang ingin membeli buah
durian atau manggis maka yang juga dicari adalah Durian Kamang maupun
Manggis Kamang. Pernah suatu ketika harga manggis melambung sangat
tinggi, nilai yang sungguh tidak pernah dibayangkan oleh pembeli maupun
penjual. Beberapa kegiatan lain, seperti pembuatan perabot, kerupuk
serta berbagai hasil kerajinan tetap merupakan andalan anak nagari
hingga saat ini.
dicari adalah Jeruk Kamang. Perintis budidaya pertanian dan perkebunan
ini, yaitu Haji Adnan St Samiek memperoleh Penghargaan Kalpataru dari
Pemerintah. Jauh sebelum periode jeruk, jika orang ingin membeli buah
durian atau manggis maka yang juga dicari adalah Durian Kamang maupun
Manggis Kamang. Pernah suatu ketika harga manggis melambung sangat
tinggi, nilai yang sungguh tidak pernah dibayangkan oleh pembeli maupun
penjual. Beberapa kegiatan lain, seperti pembuatan perabot, kerupuk
serta berbagai hasil kerajinan tetap merupakan andalan anak nagari
hingga saat ini.
Sebagai penutup naskah tentang Nagari Kamang yang dipublikasikan dalam rangka Peringatan Perang
Kamang 2012 (juga atas permintaan tokoh masyarakat Haji Akhyar Khatib
Malano), perlu pula disampaikan semoga tulisan yang disiapkan dengan
bahan yang memadai ini memenuhi syarat untuk dapat dikatakan “alah di kapak-kapak lakek parmato, alah di garih makan pahek” dan “baguno” bagi masyarakat. Dirgahayu Pemberontakan Pajak Ke-104 (Perang Kamang).
Kamang 2012 (juga atas permintaan tokoh masyarakat Haji Akhyar Khatib
Malano), perlu pula disampaikan semoga tulisan yang disiapkan dengan
bahan yang memadai ini memenuhi syarat untuk dapat dikatakan “alah di kapak-kapak lakek parmato, alah di garih makan pahek” dan “baguno” bagi masyarakat. Dirgahayu Pemberontakan Pajak Ke-104 (Perang Kamang).
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Perang Kamang
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/memperingati-perlawanan-rakyat-kamang.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment