Legenda Asl Usul danau Maninjau

Posted by Ferry Setia Budi Thursday, September 20, 2012 0 comments

 [Image: maninjau_l.jpg?w=614]

Alkisah di sebuah daerah di Sumatra Barat 

ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di 
puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat 
beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena 
mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar 
Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu
gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh
orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang 
perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. 
Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, 
Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama
Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang 
perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua 
mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung 
menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.


Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan 
kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap 
lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka 
sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya 
ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh
paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil 
Engku.



Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai 
seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang 
memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan 
warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, 
setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk
mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat 
daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya
ikut serta bersamanya.



Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran 
berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling 
berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu 
sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah
ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun 
mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Sudah lama merendam selasih


Barulah kini mau mengembang



Sudah lama kupendam kasih



Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat


Membuat baju kebaya lebar



Sudah lama abang terpikat



Hendak bertemu dada berdebar”



“Rupa elok perangaipun cantik



Hidupnya suka berbuat baik



Orang memuji hilir dan mudik



Siapa melihat hati tertarik”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya,
ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian 
pantun.


“Buah nangka dari seberang



Sedap sekali dibuat sayur



Sudah lama ku nanti abang



Barulah kini dapat menegur”



“Jika roboh kota Melaka



Papan di Jawa saya tegakkan



Jika sungguh Kanda berkata



Badan dan nyawa saya serahkan”



Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin 

hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan 
hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, 
akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka 
masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa 
senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan 
kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran 
seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering 
membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil 
yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat 
dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan,
yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut 
gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera 
mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban 
dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.


Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah
tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya 
masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong 
pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama 
tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya 
saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. 
Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan 
peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. 
Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang
perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu 
mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni 
si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.



“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.



“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.



Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. 
Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, 
namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat 
kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus
menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. 
Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat 
yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke 
arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa 
menangkisnya dengan kedua tangannya.



“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.



Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun 
tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam 
gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam 
terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, 
dendam tersebut dipendamnya dalam hati.



Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu
akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni 
ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, 
Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. 
Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara 
bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan 
pinangan Giran kepada Sani.



“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih 
mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.



“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.



“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.



“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang 
yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.



“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga 
kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti 
Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.



“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami 
merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda 
yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.



Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.



“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.



“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.



“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau 
perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang 
dengan tenang.



“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang 
perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku 
dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil 
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya 
yang patah.



“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.



“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam 
gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk 
Limbatang.



“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.



“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.



“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana 
keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil 
menghempaskan tangannya ke lantai.



Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak
satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan 
tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.



“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan 
kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk 
Limbatang.



“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”



“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat 
peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan 
sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah 
yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu 
perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.



Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam 
hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar,
tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak
mau menerimanya.



“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani 
adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” 
kata Kukuban dengan ketus.



“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap
semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk 
Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.



Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua 
pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak 
sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan 
selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir 
setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah 
yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. 
Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga 
menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di 
tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk 
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.



“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.



“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua 
keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia
sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela 
nafas panjang.



Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga 
menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari 
tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada 
sarungnya.



“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.



“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.



Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan 
meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha 
Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang
keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka 
adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.



“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.



Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya 
benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai 
gerak-gerik mereka.



“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.



“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.



“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.



“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus
dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.



Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang 
persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga 
lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan 
terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani 
telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun 
persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat 
yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan 
dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke 
kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.



Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar 
Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak 
Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir
kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman 
dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.



“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan 
terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.



Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.



“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang 
benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung
yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah 
gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”



Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah.
Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang 
menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika 
Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka 
semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh 
Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan 
diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar 
dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan 
semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. 
Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga 
gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan 
pun menjelma menjadi ikan.



Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, 
Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas 
dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama 
gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Legenda Asl Usul danau Maninjau
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/legenda-asl-usul-danau-maninjau.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 comments:

Post a Comment

Template by Berita Update - Trik SEO Terbaru. Original design by Bamz | Copyright of Yang Patut Anda Ketahui......