Legenda Asl Usul danau Maninjau
Thursday, September 20, 2012
0
comments
Alkisah di
sebuah daerah di Sumatra Barat
ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di
puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat
beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena
mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar
Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu
gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki
Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh
orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang
perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan.
Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua,
Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama
Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang
perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua
mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung
menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan
kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap
lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka
sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya
ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh
paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil
Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai
seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang
memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan
warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu,
setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk
mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat
daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya
ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran
berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling
berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu
sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah
ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun
mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama
merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani!
Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau
menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani
berdetak kencang. Dalam hatinya,
ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian
pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa
bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak
itu, Giran dan Sani menjalin
hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan
hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah,
akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka
masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa
senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan
kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran
seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering
membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil
yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat
dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan,
yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut
gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera
mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban
dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah
tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya
masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong
pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama
tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya
saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan.
Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan
peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya.
Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang
perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu
mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni
si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung
menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban.
Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan,
namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat
kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus
menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi.
Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat
yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke
arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa
menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah
sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun
tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam
gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam
terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun,
dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu
akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni
ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau,
Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan.
Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara
bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan
pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih
mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?”
sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang
yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga
kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti
Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami
merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda
yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar
suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru
Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas
menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau
perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang
dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang
perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku
dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya
yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam
gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk
Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut
Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk
Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana
keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil
menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak
satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan
tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan
kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk
Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata
mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat
peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan
sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah
yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu
perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam
hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar,
tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak
mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani
adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,”
kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap
semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk
Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua
pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak
sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan
selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir
setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah
yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama.
Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga
menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di
tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua
keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia
sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela
nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga
menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari
tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada
sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati
lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan
meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha
Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang
keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka
adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya
benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai
gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang
terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak
Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus
dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang
persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga
lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan
terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani
telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun
persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat
yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan
dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke
kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar
Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak
Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir
kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman
dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan
terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang
benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung
yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah
gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah.
Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang
menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika
Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka
semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh
Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan
diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar
dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan
semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri.
Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga
gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan
pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat,
Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas
dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama
gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Legenda Asl Usul danau Maninjau
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/legenda-asl-usul-danau-maninjau.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment