Adat Perkawinan Minangkabau
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
ADAT PERKAWINAN
1. Fungsi perkawinan
Manusia dalam perjalanan
hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita sebut
dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita
(bawah usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba,
masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri. Salah
satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah
pada saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa
permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok
keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang
secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula.
Dengan demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari
proses pemekaran kelompok. Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :
- Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
- Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
- Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
· Memelihara kelangsungan hidup “kekerabatan” dan menghindari kepunahan. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan
menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan,
antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga. Latar
belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain
sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam
perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari
masing-masing pihak. Pengenalan
dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan
keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan
dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan
juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir
dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang
akan dilahirkan. Berpilin
duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi
sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur
hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya
dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan
dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran
apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan
agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang
pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman
yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan
sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang
dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman
itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari
pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang
selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di
Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut : Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
- Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
- Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
- Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan
yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan
sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain
dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam
yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang
meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan
sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Perkawinan Eksogami
Menurut ajaran Islam sebagai agama
satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang
mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita.
Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan
dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut
berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada
kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun
upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada
seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan
terlaksana. Sebaliknya
kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi.
Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga
dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan
jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya. Sekalipun
demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan
jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada
pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak
diperbolehkan. Pada
tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan
tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah “eksogami”. Istilah
eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif).
Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula
sangat sempit. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut “eksogami keluarga batih”. Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga “marga” yang sama, disebut “eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari “nagari” yang sama, kita sebut dengan “eksogami nagari”. Adat
Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari
suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau
ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan “serumpun menurut garis ibu”, maka disebut “eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial”. Dalam
hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan
pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai
rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan
dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah “serumpun” itu sama dengan “samande”, “saparuik”, “sajurai”, “sasuku”, ataukah “sasuduik”. Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian “serumpun”
ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja,
pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat
awam, apalagi generasi muda Minangkabau. Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan “sasuduik”. Yang dimaksudkan dengan “sasuduik” adalah satu kelompok dari beberapa “suku”. Misalnya “Suduik nan 5″, terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu. Kelima
buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu
tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa “dibuang sepanjang adat” karena dianggap perkawinan “endogami” atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip “eksogami” yang dianut di Minangkabau. Tapi pengertian “sarumpun” sama dengan “sasuduik” ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari “suduik nan 6″ dan sama-sama berasal dari suku “Caniago” dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian “serumpun” yang
tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak
kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau. Pengertian
serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari
jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam “serumpun” semakin “sempit”
arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin
sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil
mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat
dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar “nagari”, bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri. Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip “eksogami matrilinial”
akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan
diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera
dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat
perkawinan Minangkabau khususnya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
4. Urang Sumando
Disamping menganut
sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang
dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local”
yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap
disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan
kekerabatan istri. Namun
demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi
status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan
istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata
sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga
diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan
dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain
pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal
bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh
kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya.
Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang
perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa
sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini,
dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut; Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak
Datang dek bajapuik
Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang
Basuluah matoari
Bagalanggang mato rang banyak.
(Tangga mencari enau)
Enau tetap tangga berpindah
Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar
(Bagaikan) Ayam putih terbang siang
Bersuluh matahari
Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan
dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula
bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak
itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.” Bila
terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya.
Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya
sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka
kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah
menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau
kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan,
namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara
lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah
wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang
adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber
dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara
yang tangguh. Kenyataan
ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga
Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang
menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung
halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar. Berdasarkan
pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau
adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak
wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji
di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat
usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan
jantan). Dalam
struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang
Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik
tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah
tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi
macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi
orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga
pihak istrinya. Pada
dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup
berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa
hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang
dengan ibunya. Sekalipun
di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak
lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini
tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap
mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah
satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak
mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri. Kehidupan
keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau
bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka
menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak
dan dalam mengendalikan harta pusaka. Dengan
adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami
bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga
istri. Berbagai
istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan
tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan
terhormat sebagai “Rang Sumando Niniek-mamak”, karena tingkah
laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri. Namun
sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar
ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah
polah perangai mereka itu. “Rang Sumando”
yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak
dimana-mana disebut dengan “Rang Sumando” Langau-Hijau atau “Rang
Sumando” Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat)
dimana-mana. “Rang Sumando” yang
kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan
memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu
lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya diberi gelar “Rang Sumando Kacang Miang”, yaitu sejenis kacang-kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal. Di Minangkabau berlaku pepatah “Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan “. Kalau
seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya
sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka
suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri
sebagai “Rang Sumando Lapiak Buruak”, yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya. Bagi suami atau “Rang Sumando” yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka “Rang Sumando” yang demikian itu mendapat gelar “Rang Sumando apak paja”, yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi “orang pandie” di rumah istrinya. Dalam
zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria
menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama
di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih
dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak
merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala
kaum, menggantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. “Rang Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”,
yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala
kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
5. Maresek
Awal
dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari
penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai
istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada
juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing.
Namun arti dan tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama. Siapa
yang harus melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang
wanita, atau pihak keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda
pelaksanaannya di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak
perempuan yang datang lebih dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari
dimana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan
sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minangkabau, maka yang
umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan. Sebagaimana
telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang sebenarnya dilakukan,
maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah penjajakan. Untuk ini
tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang
akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang
sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih
dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah
niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan
kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk
berumah tangga. Jika
mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin
baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak
dan ayah bunda pihak si gadis. Urusan
resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga
berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera
Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama
tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting
mengenai hidup dan masa depan anak-anaknya masih tergantung kepada
orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang
siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah
merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai dengan pepatah
petitih : Sia marunduak sia bungkuakSia malompek sia patahArtinya siapa yang lebih berkehendakTentulah dia yang harus mengalah Seringkali resek-maresek
ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali
perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan
anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah
disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang,
maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan
secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang
disebut acara maminang. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
6. Maminang
Pada
hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan
dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama
kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan
resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan
oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan
biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara
yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak
sendiri bukan orang ahli untuk itu.
Untuk
menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran
pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang telah marisiak,
sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga
pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara
maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ? Batuka tando
secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak
keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak
kemenakannya itu, saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai
dengan hukum perjanjian pertunangan menurut adat Minangkabau yang
berbunyi : Batampuak lah buliah dijinjiang,
Batali lah buliah diirik Artinya
kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga
kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah
ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah
bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat
untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan
secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.
Barang-barang yang Dibawa
Barang-barang
yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap.
Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi
soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat
sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan. Pada
daun sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit
dan manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan
manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan
itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam
perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala
yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan
siriah disebutkan :
Kok Siriah lah kami makan
Manih lah lakek diujuang lidah
Pahik lah luluih karakuangan
Jika sirih sudah kami makan
Yang manis lekat di ujung lidah
Yang pahit lolos ke kerongkongan
Artinya
orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis
saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya. Kalau
disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga
akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda
yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja
diletakkan pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau
nampan). Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya
adalah benda-benda pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung
nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan
kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu yang sangat
berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah kain
balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan oleh
nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai
oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu. Karena
nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda
itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena
itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing
tanda ini harus dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua
belah pihak. Sesuai
dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita
membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak
rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai
oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan
dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau
wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak
keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah
dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat
dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
- Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda
- Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
- Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
- Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun
menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu
yang sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini
akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat
dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan
jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik
mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran
itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling
pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan
mereka memberikan jawaban atas lamaran itu. Acara
maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan
skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga
urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara
simultan dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
7. Minta Izin / Mahanta Siriah
Bila
seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka
kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang
yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan mohon doa restu kepada
mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya; kepada kakak-kakaknya
yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati
dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta izin. Bagi
pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung
kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang
wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi
mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama.
Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum
akad nikah dilangsungkan.
Tata Cara
Pada
hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang
kawan (biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi
mendatangi langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patutu
dihormati seperti disebutkan diatas. Setelah
menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi
daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung
pula memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau
diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan
segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu
minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat dan petunjuk
yang diperlukan dalam rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon
kehadiran orang bersangkutan serta seluruh keluarganya pada hari-hari
perhelatan tersebut. Biasanya
keluarga-keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja
keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti itu. Dengan
dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil
untuk ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul)
dengan memberikan bingkisan-bingkisan yang berguna bagi orang yang akan
pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram gula pasir saja, sesuai
dengan kemampuannya.
Tata Busananya
Untuk
melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan
busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai
sekarang dibeberapa daerah di Sumatera Barat :
- Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung palekat (atau sarung Bugis)
- Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.
Dahulu
si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat
untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak
muda telah menukarnya dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang
tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata. Bagi
keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini
yang disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya
yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah
tersusun rapi baik diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas
yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan
maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang
didatangi. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
8. Malam Bainai
Secara
harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang
dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon
pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku. Lazimnya
dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya
calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan
mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau
bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga
kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan
partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat.
Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah
dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul
di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris
mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik
dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam
rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan,
dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk
menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang
besok pagi akan dinikahkan. Selain
dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan
memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung
arti magis. Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun
inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si
calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang
dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti
juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam
perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara
bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada
kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah
berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua
dengan suaminya kemana saja. Kepercayaan
kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan
bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai
perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya
kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik
Allah semata-mata. Dibeberapa
nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih
dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh
wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama
dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam
arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang
tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang
mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah membacakan doa, secara
bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi
pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:
- Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya,
- Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumahtangga,
- Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral, yaitu akad nikah,
- Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
Bagi
orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta,
acara-acara ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi
waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut
pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat
praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup
dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di
beberapa tempat ditubuhnya.
Tata busana
Untuk
melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana
khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah
semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga
bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk
serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga
mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung
ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping
itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro
yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan
suasana.
Tata cara
Jika
acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu
ruangan di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning
terkembang melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu
sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani dibawa
keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang
berpakaian adat. Untuk
memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini
disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang
mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang
dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri
dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara
laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan
dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang
bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan
saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita. Setelah
itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan
sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan
matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang
berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena
itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib
yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum
seperinduan. Walaupun
acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya
maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan
air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya
ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak
daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima,
tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah
ibunya. Jumlah
ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu
yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam,
atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit
berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga
sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa
dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada
beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain
disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga
dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya.
Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu
balutan kain dibuka, dst.’ Jika
acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman
tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan
daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering
dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas
badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin. Acara
memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu
kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah
menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah
diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus
menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang
sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing
puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu
adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa,
karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah
suaminya. Kain
jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro,
segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara
mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu
mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar
melakukan perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya.
Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut yang memisahkan mereka.
Bainai
Jika
acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari
calon pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Dapat
pula dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam
itu, bisa oleh keluarga calon besan. Ada
beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan
bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Tapi duduk
mereka tidak disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung
mempersandingkan maka tempat calon pengantin pria tidak di sebelah
kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin wanita. Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya. Paling banyak sembilan. Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai
ini setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon
anak daro setelah selesai biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro.
Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat. Maksudnya
mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai
kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk
membuat si calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai. Pelaksanaan
kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang memang
telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar
disebut uci-uci. Seringkali
juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan
kesenian-kesenian tradisional Minang. Di daerah pantai Sum Bar, hiburan
yang ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir
sama dengan lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu
untuk mengundang orang secara spontan tegak menari menyambut
selendang-selendang yang diulurkan oleh para penyanyi dan penari-penari
wanita. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
9. Penyambutan Di Rumah Anak Daro
Bila
akad nikah dilangsungkan dirumah calon mempelai wanita, bukan di
mesjid, maka acara penyambutan kedatangan calon mempelai pria dengan
rombongannya di halaman rumah calon pengantin wanita akan menjadi sebuah
acara besar.
Acara ini sering juga disebut sebagai acara baralek gadang dengan menegakkan marawa-marawa Minang sepanjang jalan sekitar rumah. Menyiapkan pemain-pemain musik tradisional (talempong dan gandang tabuik)
untuk memeriahkan suasana. Menyiapkan payung kuning kehormatan serta
pemegangnya untuk memayungi calon pengantin pria. Kemudian juga
dipersiapkan barisan galombang adat timbal balik yang terdiri dari
pemuda-pemuda berpakaian silat untuk membuka jalan, dan dara-dara
berpakaian adat yang akan menyuguhkan sirih secara bersilang dari pihak
tuan rumah kepada ninik mamak yang ada dalam rombongan yang datang, dan
dari fihak tamu yang datang kepada ninik mamak yang ada dalam rombongan
yang menanti.
Tata cara
Secara
garis besar ada empat tata cara menurut adat istiadat Minang yang dapat
dilakukan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dalam menyambut
kedatangan calon mempelai pria yang dilangsungkan pada empat titik
tempat yang berbeda pula di halaman rumahnya.
Pertama,
memayungi segera calon mempelai pria dengan payung kuning tepat pada
waktu kedatangannya pada titik yang telah ditentukan di jalan raya di
depan rumah. Atau kalau rombongan datang dengan mobil, pada titik tempat
calon mempelai pria ditentukan untuk turun dari mobilnya dan akan
melanjutkan perjalanan menuju rumah dalam arak-arakan berjalan kaki.
Kedua,
penyambutan dengan tari gelombang Adat timbal balik oleh pemuda-pemuda
yang disebut parik paga dalam nagari dengan memberikan penghormatan
pertama dan menjaga kiri kanan jalan yang akan dilewati oleh rombongan. Pada
satu titik dipertengahan jalan kedua barisan gelombang ini akan
bersobok dan pimpinannya masing-masing akan melakukan sedikit
persilatan. Ini mengambil contoh pada perkawinan di kampung-kampung
dahulu di ranah minang, ketika seorang pemuda harus dikawal oleh
kawan-kawannya sepersilatan di dalam perjalanan menuju ke rumah calon
isterinya yang berada dikampung lain. Kampung isterinya ini juga dikawal
oleh pemuda-pemuda yang selalu siap siaga menjaga keamanan. Sehingga
tidak jarang antara kedua kelompok pemuda ini sering terjadi salah paham
sehingga mereka saling menunjukkan kelihaian mereka dalam bersilat.
Karena itulah dalam pertemuan dua barisan gelombang itu sampai sekarang
tetap ada acara persilatan sejenak yang berhenti setelah seorang ninik
mamak maju ketengah melerai mereka dengan carano adat. Kemudian
acara selanjutnya dengan barisan dara-dara limpapeh rumah dan gadang
yang menyonsong mempersembahkan sirih lengkap dalam carano adat bertutup
dalamak secara timbal balik dalam gerakan menyilang antara yang datang
dan yang menanti.
Ketiga,
sambah-manyambah antar juru bicara pihak tuan rumah dengan juru bicara
rombongan calon mempelai pria yang dilangsungkan tepat di depan pintu
gerbang sebelum masuk ke pekarangan rumah calon mempelai wanita. Menurut
adatnya sambah-manyambah di luar rumah ini diawali oleh juru bicara
pihak calon pengantin wanita sebagai sapaan kehormatan atas datangnya
tamu-tamu ke rumah mereka. Keempat,
penyambutan oleh perempuan-perempuan tua pada titik sebelum calon
mempelai pria memasuki pintu utama rumah. Perempuan-perempuan inilah
yang menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning sambil berpantun
dan kemudian setelah mempersiapkan naik manapiak bandua maningkek
janjang, mencuci kaki calon menantunya dengan menuangkan sedikit air ke
ujung sepatu calon mempelai pria. Di Jakarta sekarang juga lazim
dilakukan setelah pencucian kaki secara simbolik ini, maka calon
pengantin pria akan menapak masuk ke dalam rumah melewati kain jajakan
putih yang terbentang antara pintu sampai ke tempat di mana acara akad
nikah akan dilangsungkan. Pencucian
kaki dan berjalan diatas kain putih ini merupakan perlambang dari
harapan-harapan tentang kebersihan dan kesucian hari dari calon menantu
dalam melaksanakan niatnya untuk mengawini calon isterinya. Sering juga
disebut acara ini bermakna, bahwa calon pengantin pria hanya akan
membawa segala yang suci dan bersih ke atas rumah, dan meninggalkan
segala yang buruk dan kotor di halaman. Beberapa
besar jumlah pemuda-pemuda yang terlibat mendukung penyambutan dengan
tari gelombang serta pemudi-pemudi yang mendukung acara persembahan
sirih adat, menunjukkan pula besar kecilnya pesta yang diadakan. Namun
yang lazim jumlah tidak kurang dari tujuh orang untuk tiap kelompok.
Tujuh orang penari gelombang dari pihak yang menanti, yaitu tujuh lagi
dari pihak yang datang dan tujuh orang pula dara-dara yang membawa sirih
pihak yang menanti dan tujuh orang pula dari pihak yang datang. Namun
untuk penghematan tenaga, adakalanya dan sah juga adanya juka
penyambutan hanya dilakukan secara sepihak oleh keluarga yang menanti.
Artinya barisan gelombang dan dara-dara limpapeh pembawa sirih hanya
disiapkan dipihak keluarga calon pengantin wanita saja.
Tata busana
Dua
orang yang jadi juru bicara untuk sambah manyambah boleh brepakaian
yang sama dengan keluarga. Yaitu pakai sarung dan berkemeja dilapisi jas
diluarnya. Yang penting kepalanya harus tertutup dengan kopiah hitam. Boleh
juga dikanakan busana model engku damang atau yang sekarang juga sering
disebut sebagai jas dubes. Atau kalau dia hanya memakai kemeja dan
pantalon biasa, maka dilehernya harus dikalungkan kain palekat yang
kedua ujungnya terjuntai ke dada. Sedangkan kepala harus memakai kopiah. Untuk
pemuda-pemuda penari gelombang, busananya adalah baju silat biasa
dengan celana galembong tapak itiak berkain samping dipinggang dan
destar dikepala. Sedangkan
untuk dara-dara limpapeh rumah nan gadang yang membawa sirih,
mengenakan baju kurung dalam berbagai variasi menurut daerah
masing-masing. Hiasan kepala dpat berupa tikuluak tanduak atau hiasan
kepala yang ringan seperti sunting rendah atau sunting ringan lainnya
yang beraneka ragam terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat.
Mengingat gadis-gadis ini dalam acara penyerahan sirih juga akan menari,
maka seyogyanya pakaian yang dikenakan jangan terlalu berat sehingga
menyusahkan untuk dibawa melenggang atau membuat sipenari tampak
garebeh-tebeh. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
10. Manjapuik Marapulai
Ini
adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara
perkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin
pria ke rumah orang tuanya untuk dibawa melangsungkan akad nikah di
rumah kediaman calon pengantin wanita.
Dahulu
di kampung-kampung biasanya cukup beberapa orang laki-laki saja dari
keluarga calon pengantin wanita yang menjemput calon pengantin pria ini
untuk melafaskan ijab kabul
di mesjid-mesjid. Setelah selesai akad nikah barulah kemudian keluarga
besar kembali menjemput menantunya itu ke rumah orang tuanya untuk
dipersandingkan di rumah pengantin wanita. Tetapi
sekarang untuk efisiensi waktu yang lazim berlaku di kota-kota besar,
akad nikah diadakan di rumah calon pengantin wanita dan setelah itu
langsung kedua pengantin dipersandingkan di pelaminan. Maka untuk acara
yang semacam ini, penjemputan calon mempelai pria ke rumah orang tuanya
harus dilaksanakan sepanjang adat dengan memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Sering
terjadi sampai sekarang terutama untuk perkawinan-perkawinan yang
diatur oleh orang tua-tua sebuah rencana perkawinan batal gara-gara
ketidakcocokan dalam soal jemput menjemput calon marapulai atau mempelai
ini. Kekisruhan ini bisa terjadi bukan saja karena tidak sesuainya
barang-barang yang dibawa pihak keluarga calon pengantin wanita untuk
menjemput, tapi bisa juga karena dirasa juga tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan adat istiadat menurut tata cara kampungnya atau
luhak adatnya yang berbeda-beda. Secara
umum menurut ketentuan adat yang lazim, dalam menjemput calon pengantin
pria keluarga calon pengantin wanita harus membawa tiga bawaan wajib,
yaitu :
Pertama : Sirih lengkap dalam cerana menandakan datangnya secara beradat
Kedua : Pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan dipakai oleh calon pengantin pria
Ketiga : Nasi kuning singgang ayam dan lauk pauk yang telah dimasak serta makanan dan kue-kue lainnya sebagai buah tangan
Hal-hal
diluar ini, itu tergantung kepada adat istiadat daerah masing-masing
yang berbeda-beda, serta perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Umpamanya untuk daerah pesisir Sumatera Barat seperti Padang dan
Pariaman, berlaku ketentuan untuk membawa payung kuning tujuh tungketan,
tombak janggo janggi, pedang (kalau si calon pengantin prianya bergelar
Marah, Sidi dan Bagindo) dll. Jika ada perjanjian-perjanjian yang
dibuat sebelumnya dimana pihak keluarga calon pengantin wanita harus
membawa uang jemputan, uang hilang, atau apapun namanya,maka segala yang
dijanjikan itu harus dibawa secara resmi waktu melakukan acara
menjemput marapulai ini. Semua bawaan ini ditata rapi pada wadahnya
masing-masing. Banyak
atau sedikitnya bawaan yang dibawa serta banyak atau sedikitnya jumlah
keluarga pihak calon pengantin wanita yang datang menjemput, sering
menjadi ukuran besar kecilnya pesta yang diadakan itu. Untuk
melepas anak kemenakan mereka yang akan melakukan akad nikah ini, pihak
keluarga calon pengantin pria biasanya juga mengumpulkan seluruh
keluarganya yang patut-patut. Termasuk ninik mamak dan para rang
sumandonya. Situasi ini dengan sendirinya membuat acara tersebut menjadi
sangat resmi, dimana kedua belah pihak keluarga saling berusaha untuk
memperlihatkan adat sopan dan basa-basi yang baik. Adat
sopan dan basa-basi yang baik itu, bukan hanya tercermin dalam sikap
dan tindak tanduk saja, tetapi juga harus terungkap didalam tutur kata.
Oleh karena itulah maka pada acara manjapuik marapulai ini, kedua belah
pihak keluarga harus menyediakan jurubicara yang dianggap mahir untuk
bersikap dan bertutur kata yang baik sesuai dengan tata cara adat yang
disebut alur pasambahan, atau yang pandai melaksanakan sambah manyambah. Untuk
acara sambah-manyambah dalam alek kawin ini menurut adat Minangkabau
tidak perlu harus dilakukan oleh seorang ninik mamak atau penghullu,
tetapi dipercayakan kepada yang muda-muda terutama para rang sumando
baru dalam lingkungan keluarga masing-masing. Sebagai orang yang
dihormati dan dituakan maka ninik mamak dan penghulu dalam pesta
perkawinan berperan sebagai tumpuan untuk bermufakat atau tempat
memulangkan kata, jika ada hal-hal alam pembicaraan yang memerlukan
petunjuk dan saran dari yang tua-tua. Oleh
karena kewajiban sambah-manyambah ini merupakan keahlian yang tidak
dimiliki oleh setiap orang, maka seringkali dikampung-kampung dulunya
acara semacam ini oleh para jurubicara yang ditunjuk, dijadikan ajang
untuk saling memamerkan kefasihan mereka masing-masing dalam melafalkan
pepatah-petitih dan merentetkan kembali tambo alam Minangkabau, sehingga
acara menjadi bertele-tele memakan waktu yang panjang dan membosankan. Sesuai
dengan efisiensi waktu pada zaman sekarang ini, dimana akad nikah juga
harus tunduk kepada jadwal yang telah ditentukan, maka dengan tidak
mengurangi hakekat acara tersebut sebagai suatu yang harus nampak
beradat, maka acara sambah-manyambah ini bisa dipadatkan dengan hanya
menyebut bagian-bagian yang memang perlu dan wajib disebut sesuai dengan
tujuan kedatangan rombongan itu sendiri. Oleh karena didalam pelajaran
sambah-manyambah pun ada tata cara pasambahan yang dikategorikan sebagai
pangka batang untuk setiap acara yang dihadapi. Di dalam acara manjapuik marapulai ini maka yang pokok-pokok harus disebut itu adalah sbb:
- Pasambahan menghormati yang tua-tua dan yang patut-patut yang ada diatas rumah,
- Pasambahan menyuguhkan sirih adat,
- Menyampaikan maksud kedatangan,
- Memohon semua keluarga tuan rumah ikut mengiringkan,
- Menanyakan gelar calon menantu mereka,
- Berterima kasih atas sambutan dan hidangan yang disuguhkan.
Tata cara
Sesuai
dengan hari dan jam yang telah disepakati dengan memperhitungkan jarak
yang akan ditempuh serta jadwal waktu akad nikah yang telah ditetapkan
sesuai dengan undangan, maka rombongan penjemput berangkat menuju rumah
calon pengantin pria bersama-sama sambil membawa segala perlengkapan
sebagaimana yang telah disebutkan pada bab terdahulu. Pihak
keluarga calon pengantin pria menyambut dan menunggu tamunya di
pekarangan rumah sambil menyiapkan pula sejumlah orang-orang yang akan
menjawat atau menerima barang-barang yang dibawa oleh rombongan yang
datang. Setelah
segala bawaan yang dibawa oleh rombongan penjemput ini diterima
dihalaman, maka semua rombongan penjemput dipersilakan naik ke atas
rumah. Para tamu yang datang menurut adat Minang didudukkan pada bagian
yang paling baik di atas rumah. Kalau ada pelaminan; disekitar pelaminan
menghadap ke pintu masuk, sedangkan tuan rumah (sipangka) berjejer
sekitar pintu atau pada bagian yang dilalui untuk menuju ke dapur atau
ke ruang dalam. Barang-barang
bawaan rombongan penjemput termasuk sirih dalam cerana setelah diterima
di halaman, biasanya ditata dulu dengan baik dan dijejerkan
ditengah-tengah rumah agar dapat disaksikan oleh semua orang. Dalam
acara manjapuik marapulai ini yang lazim pembicaraan dimulai oleh pihak
yang datang. Jika rombongan yang datang membawa seorang juru bicara
yang pandai sambah manyambah, maka sebelum pembicaraan dimulai haruslah
terlebih dahulu pihak yang datang sambil berbisik bertanya kepada orang
yang menanti kepada siapa sembah ini akan ditujukan. Pertanyaan
berbisik ini merupakan tata tertib yang perlu dilaksanakan, agar sambah
yang akan ditujukan itu jatuh kepada orang yang tepat, artinya orang
yang memang telah mempunyai keahlian sepadan untuk menjawab kata secara
alur persembahan. Sebab kalau tidak, maka sembah yang dituhuakkan kepada
seseorang yang ternyata bukan seorang yang menguasai seni ini, maka ini
dapat membuat malu dan canggung orang yang dituju dan bahkan juga dapat
menimbulkan rasa kurang enak dihati tuan rumah. Pembicaraan
pertama yang dibuka oleh pihak yang datang ini, tidak pulalah sopan
jika secara langsung mengungkapkan maksud kedatangan rombongan. Yang
lazim adalah juru bicara setelah menyatakan terima kasih atas
penyambutan yang ramah dan baik dari tuan rumah dalam menerima
kedatangan mereka, maka ia akan bertanya terlebih dahulu, apakah dia
sudah dibenarkan untuk menyampaikan maksud dari kedatangan rombongan.
Didalam alur persembahan kalimat bertanya tersebut terungkap dalam
kata-kata bersayap sbb:
Jikok ado nan takana di ati
Nan tailan-ilan dimato
Alah kok buliah kami katangahkan ?
Lazimnya
menurut tata tertib yang betul sebagaimana yang tetap berlaku sampai
sekarang di ranah minang, tuan rumah melalui jurubicaranya tidaklah akan
menjawab begitu saja secara langsung memberikan izin kepada rombongan
yang datang untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka. Orang
bertamu ke rumah orang lain biasanya disuguhi air minum agak seteguk
lebih dahulu sebelum berunding, apalagi satu rombongan yang datang
secara beradat. Ini sesuai dengan idiom Minang yang mengatakan :
Jikok manggolek di nan data
Jikok batanyo lapeh arak
Jikok barundiang sudah makan
Demikian
pembicaraan akan terputus sementara untuk mempersilakan tamu-tamu makan
atau setidak-tidaknya minum segelas air dan mencicipi kue-kue yang
telah disediakan. Setelah
selesai acara santap atau makan kue-kue kecil ini, barulah juru bicara
pihak rombongan yang datang kembali mengangkat sembah, mengulangi
kembali pertanyaan yang tertunda tadi. Setelah jurubicara tuan rumah
menyatakan bahwa runding sudah bisa dilanjutkan, maka barulah jurubicara
yang datang secara terperinci mengemukakan maksud kedatangan rombongan
dalam alur persembahannya yang pokok-pokok isinya harus memenuhi
ketentuan-ketentuan adat menjemput maapulai sbb :
- Menyatakan bahwa mereka itu merupakan utusan resmi mewakili pihak keluarga calon pengantin wanita.
- Bahwa mereka datang secara adat. Maningkek janjang manapiak bandua dengan membawa sirih dalam carano.
- Bahwa tujuan mereka adalah untuk menjemput calon mempelai pria (sebutkan namanya dan nama orang tuanya dengan jelas).
- Menegaskan bahwa jemput itu jemput terbawa, sekalian dengan keluarga yang akan mengiringkan.
Kalimat-kalimat
dalam alur persembahan bisa bervariasi panjang dengan menyebut dan
membeberkan kembali sejarah kelahiran seorang anak sampai dewasa dan
sampai berumah tangga atau mengulang-ulang tambo sejarah ninik moyang
orang Minang mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke laut yang sedidih
dsb. Tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan inti maksud
kedatangan rombongan, kecuali hanya untuk memamerkan keahlian si tukang
sembah. Sedangkan yang pokok menurut adat untuk disebut adalah yang
berhubungan dengan empat ketentuan di atas. Setelah
keempat maksud itu disampaikan, dan diterima oleh jurubicara tuan rumah
maka barulah seperangkat pakaian yang dibawa oleh rombongan penjemput
diserahkan kepada tuan rumah untuk bisa segera dipakaikan kepada calon
mempelai pria. Sambil
menunggu calon mempelai pria berpakaian, barulah dilanjutkan lagi acara
dengan alur persembahan menanyakan gelar calon mempelai pria. Setelah
selesai acara sambah-manyambah ini, dan setelah selesai calon mempelai
pria didandani dan dikenakan busana yang dibawa oleh keluarga calon
mempelai wanita, maka sebelum rombongan termasuk rombongan keluarga yang
laki-laki berangkat bersama-sama menuju rumah kediaman calon mempelai
wanita, haruslah calon mempelai pria memohon doa restu terlebih dahulu
kepada kedua orang tuanya dan kepada keluarga-keluarganya yang tua-tua
dan yang pantas untuk dihormati dalam kaumnya. Oleh
karena anak laki-laki di dalam kekerabatan Minang kalau sudah beristeri
biasanya akan tinggal di rumah isterinya, maka sering juga anak
laki-laki yang akan kawin itu disebut akan menjadi “anak orang lain”.
Sehingga momen permohonan doa restu ketika akan berangkat nikah,
seringkali menjadi sangat mengharukan, dimana yang dilepas dan yang
melepas saling bertangis-tangisan. Lazimnya
dalam acara menjemput calon mempelai pria ini, pihak keluarga calon
mempelai wanita juga membawa dua orang wanita muda yang baru berumah
tangga untuk dijadikan pasumandan yang mengiringkan dan mengapit calon
mempelai pria mulai turun rumahnya sampai disandingkan di pelaminan
setelah akad nikah. Pasumandan ini juga didandani dengan baju kurung khusus dan kepalanya dihiasi dengan sunting rendah. (Sumber : Tata Cara Pelaksanaan Adat Minangkabau)
11. Manjalang / Mahanta Nasi
Seusai
acara akad nikah yang dilanjutkan dengan basandiang di rumah kediaman
mempelai wanita, maka sebuah acara lagi yang dikategorikan sebagai
perhelatan besar dalam tata cara adat istiadat perkawinan di
Minangkabau, ialah acara manjalang. Acara ini mungkin bisa disamakan dengan acara ngunduh mantu yang berlaku menurut adat Jawa. Acara
ini yang pelaksanaan dan undangannya dilakukan oleh pihak keluarga
mempelai pria, pada beberapa nagari di Sum Bar mendapat penamaan yang
berbeda-beda. Ada yang menyebut dengan istilah manjalang mintuo, mahanta nasi, manyaok kandang atau mahanta nasi katunduakan, mahanta bubue dsb. Namun
maksud dan tujuannya sama, yaitu kewajiban untuk mengisi adat setelah
akad nikah dari pihak keluarga mempelai wanita kepada keluarga mempelai
pria. Mengisi adat ini bermakna bahwa pihak keluarga mempelai wanita
pada hari yang ditentukan harus datang secara resmi kerumah ayah ibu
mempelai pria saling kenal mengenal dengan seluruh keluarga mertua
anaknya. Karena datang ini secara beradat dan kunjungan mereka itu bukan
saja akan disaksikan oleh keluarga, tetapi juag oleh tamu-tamu lain
yang diundang oleh keluarga pihak mempelai pria, maka tak heran kalau
dibeberapa nagari di Sum Bar sampai sekarang acara ini sering
dilaksanakan dengan sangat meriah dan penuh semarak. Sesuai
dengan salah satu judulnya mahanta nasi maka rombongan keluarga
mempelai wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria ini memang
diharuskan untuk membawa berbagai macam makanan. Seperti nasi kuning
singgang ayam, lauk pauk rendang, sampadeh dll. Serta kue-kue besar
macam macam bolu dan kue-kue adat seperti bulek-bulek, pinyaram, kue
poci, kue abuak, onde-onde dll. Semua bawaan ini ditata diatas dulang-dulang tinggi yang bertutup kain dalamak
dan dibawa dengan dijunjung diatas kepala dalam barisan oleh
wanita-wanita yang berpakaian adat. Proses inilah yang disebut dengan
istilah manjujuang jamba. Di
daerah dalam lingkung adat kubuang tigo baleh (Solok), bawaan nasi dan
lauk pauk dalam acara ini yang disebut mahanta nasi katunduakan, ditata
dalam cambuang-cambuang kaca putih yang dijunjung oleh wanita-wanita
berpakaian adat setempat dengan barisan berderet satu-satu bagaikan itik
pulang petang. Di
daerah pesisir seperti Padang dan Pariaman, maka segala bawaan ini baik
yang dijunjung diatas dulang maupun yang dipapah dengan baki, tidak
boleh ditutup agar orang-orang kampung lain bisa melihatnya sepanjang
jalan yang dilalui. Di daerah ini jumlah makanan yang dibawa berbeda
pula untuk orang-orang biasa bila dibandingkan dengan keturunan
puti-puti. Untuk orang-orang biasa segala bawaan itu cukup setiap macam
sebuah atau serba satu atau paling banyak serba dua, maka bagi keturunan
puti-puti harus serba empat. Singgang ayamnya empat, kue bolunya empat
dll. Arak-arakan
manjalang atau mahanta nasi dari rumah mempelai wanita ke rumah orang
tua mempelai pria ini selain diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian
adat atau berbaju kurung, juga diikuti oleh para ninik mamak yang juga
mengenakan lengkap busana-busana adat sesuai dengan fungsinya didalam
kaum. Barisan ini juga dimeriahkan dengan iringan pemain musik
tradisional setempat seperti talempong pacik, gendang, dan puput sarunai
yang berbunyi terus menerus sepanjang jalan sampai ke tempat tujuan. Di
beberapa kampung sekarang, yang mungkin bertujuan untuk lebih praktis,
iringan musik ini ada yang dilakukan dengan mengikutsertakan seorang
laki-laki dalam barisan dengan menyandang tape recorder yang agak besar
dan sepanjang jalan membunyikan kaset lagu-lagu Minang dengan volume
besar. Dirumah
mempelai pria rombongan ini disambut pula secara adat. Selain dengan
sirih dalam carano adakalanya juga dinanti dengan tari gelombang dan
pasambahan. Pengantin wanita dipersandingkan lagi dengan pengantin pria
di pelaminan yang sengaja dipasang oleh keluarga pengantin pria. Adalah
kewajiban adat bagi ayah ibu pengantin pria setelah acara selesai,
sebelum tamu-tamu pulang, untuk mengisi beberapa wadah bekas pembawaan
makanan keluarga pengantin wanita yang telah kosong. Isinya
bisa berupa bahan-bahan kain untuk baju, atau seperangkat pakaian,
perhiasan emas atau sejumlah uang atau bisa juga hanya diisi dengan
gula, mentega dan tepung terigu. Semua itu tentu sesuai dengan kemampuan
dan kerelaan sang mertua. Untuk
pesta-pesta perkawinan yang diadakan digedung-gedung, acara manjalang
ini juga sering dilaksanakan secara simbolik, dimana barisan pengantin
waktu memasuki gedung diawali dengan barisan dara-dara limpapeh rumah
dan gadang yang menjunjung jamba. Sedangkan
orang tua dan saudara-saudara kandung pengantin pria sebagai orang yang
punya hajat tidak ikut dalam barisan, tetapi menunggu iring-iringan
pengantin dan orang tua pengantin wanita di depan pelaminan. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
12. Acara Sesudah Akad Nikah
Acara
pokok akad nikah dan ijab kabul berlangsung sesuai dengan peraturan
baku Hukum Islam dan Undang-Undang Negara R.I. Semua ini dipimpin
langsung oleh penghulu yang biasanya dipegang oleh Kepala Urusan Agama
setempat.
Setelah
selesai semua acara yang bersifat wajib Islami, maka barulah diadakan
lagi beberapa acara sesuai dengan adat istiadat Minang. Diantaranya
yaitu :
- Acara Mamulangkan Tando
- Malewakan Gala Marapulai
- Balantuang Kaniang
- Mangaruak Nasi Kuniang
- Bamain Coki
Mamulangkan Tando
Sesudah
akad nikah pengantin pria dan pengantin wanita telah terikat secara sah
sebagai suami isteri baik dipandang dari sudut agama maupun dari
undang-undang negara. Ikatan itu sudah terpatri dalam surat nikah resmi
yang dipegang oleh masing-masing pihak. Karena itu tando yang diberikan
sebagai janji ikatan sewaktu bertunangan dahulu oleh kedua belah pihak
keluarga tidak mereka perlukan lagi. Pengembalian
barang tando ini dilakukan secara resmi dengan disaksikan oleh keluarga
kedua belah pihak setelah selesai acara akad nikah. Urutan
penyerahan tando itu dimulai oleh pihak keluarga pengantin wanita.
Diserahkan kepada ibu pengantin wanita oleh seorang keluarganya yang
membawa tando itu dari dalam kamar, kemudian ibu pengantin wanita
menyerahkan kepada mamak dalam persukuannya. Dan mamak pengantin wanita
yang menyerahkan secara resmi disambut oleh mamak pengantin pria yang
kemudian menyerahkan tando itu kepada ibu pengantin pria. Pengembalian tando milik keluarga pengantin wanita juga dilakukan dengan urutan yang sama oleh pihak keluarga pengantin pria.
Malewakan Gala Marapulai
Pengumuman
gelar adat yang disandang oleh mempelai pria ini dilakukan langsung
oleh ninik mamak kaumnya. Ia harus menyebutkan secara jelas dari mana
gelar itu diambilkan dari persukuan ayahnya (bakonya). Jika pengantin
pria bukan dari persukuan Minang, maka pengumuman gelar ini dilakukan
oleh ninik mamak persukuan pengantin wanita dengan memberikan alasan dan
penjelasan yang sama.
Balantuang Kaniang
Acara
ini dan dua acara berikutnya lebih bersifat bungo alek atau
kembang-kembang pesta daripada acara adat. Ini sesuai dengan
pantun-pantun pepatah petitih Minang yang mengatakan :
Cukuik syaraik pai ka Makah
Jalankan parintah baibadaik
Wajib nikah karano sunnah
Sumarak alek karano adaik
Jadi
jelas disini acara-acara adat yang dilakukan sesudah akad nikah lebih
bertujuan untuk menbuat sebuah pesta tampak lebih semarak. Secara
harfiah acara ini berarti mengadu kening. Pasangan suami isteri baru
itu dengan dipimpin oleh perempuan-perempuan tua yang disebut uci-uci
saling menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Mula-mula kedua mereka
didudukkan saling berhadapan dan antara wajah keduanya dipisahkan
dengan sebuah kipas. Kemudian kipas ini diturunkan pelan-pelan, sehingga
mata mereka saling bertatapan. Setelah itu kedua uci-uci akan saling
mendorongkan kepala pengantin itu sehingga kening mereka saling
bersentuhan. Makna
acara ini selain mengungkapkan kemesraan pertama antara mereka dengan
saling menyentuhkan bagian mulia pada wajah manusia (ingat ungkapan
“malu tercoreng pada kening”) maka persentuhan kulit pertama ini juga
bermakna bahwa sejak detik itu mereka sudah sah sebagai muhrim. Hal ini
berarti pula bahwa persentuhan kulit antar mereka tidak lagi membatalkan
wudhu atau air sembahyang masing-masing.
Mangaruak Nasi Kuniang
Dihadapan
kedua pengantin itu diletakkan nasi kuning yang menimbuni singgang ayam
utuh didalamnya. Kedua pengantin ini dipimpin untuk saling berebut
mengambil daging ayam yang tersembunyi itu. Kemudian bagian-bagian yang
didapat masing-masing diperagakan kepada tamu-tamu. Kata
orang tua-tua Minang dulu, bagian apa dari daging ayam itu yang didapat
oleh masing-masing pengantin akan memberikan ramalan tentang peranan
mereka didalam berumah tangga kelak dikemudian hari. Umpamanya kalau
pengantin laki-laki mendapatkan bagian kepala, maknanya ia didalam
perkawinannya betul-betul akan menjadi kepala rumah tangga yang baik.
Kalau pengantin wanita mendapatkan sayap, maka maknanya didalam rumah
tangganya nanti ia akan menjadi ibu yang penyayang dan selalu melindungi
anak-anaknya. Tatapi kalau sayap ini diperoleh pengantin pria, maka
pengantin wanita layak untuk menjaga suaminya lebih ketat karena ada
kemungkinan ia akan terbang kesana kemari. Ramal
meramal semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang
menegaskan bahwa Yang Maha Tahu tentang masa depan siapapun hanyalah
Allah semata-mata, bukan manusia, walaupun setua atau sepintar apapun
manusia yang meramal itu. Perlambang
lebih baik yang dapat dipetik dari acara ini, terletak pada adegan
ketika sang suami mengambil sedikit nasi kuning dengan lauknya, kemudian
menyerahkan kepada isterinya. Sang isteri menerima pemberian suaminya
itu, tapi tidak memakan semuanya. Ia hanya memasukkan sedikit
kemulutnya, dan menyisihkan yang lain dipiringnya. Sikap ini sesuai
dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa isteri yang baik ialah isteri
yang bisa menahan hati untuk tidak selalu menghabiskan nafkah berapapun
yang diberikan suaminya, tetapi selalu menyimpannya sedikit. Simpanan
ini akan dikeluarkannya secara surprise kelak untuk membantu keluarga
ketika terjadi musim paceklil atau kekurangan rezeki. Demikianlah
simbolis acara ini sebaiknya ditafsirkan.
Bamain Coki
Coki
adalah tradisional di Ranah Minang. Inimadalah semacam permainan catur
yang dilakukan oleh dua orang. papan permainannya hampir menyerupai
papan halma dengan garis-garis menyilang. Anak caturnya terdiri dari
buah baju berbeda warna. Kedua
pengantin dengan dipimpin oleh uci-uci mengadu kelihaian menjalankan
dan saling memakan buag masing-masing. Konon kabarnya dahulu kala
permainan ini bisa berlangsung lama dan sangat menarik untuk disaksikan. Tetapi
adakalanya permainan ini juga bisa berubah jadi semacam pergelutan
antar mereka yang saling berebut cincin di jari masing-masing.
Adakalanya juga pengantin wanita berhasil merebut cincin suaminya dan
membawa lari masuk ke dalam kamarnya. Dalam situasi begini, uci-uci lalu
menghasut pengantin pria memburu isterinya kedalam kamar untuk merebut
cincinnya kembali. Terang
bahwa permainan ini sama sekalilah bermaksud agar pasangan suami isteri
baru itu saling menunjukkan kemahirannya dalam bermain coki, tapi lebih
bermakna untuk saling meluluhkan kekakuan diantara mereka dan mendorong
terciptanya kemesraan pertama antar pengantin baru yang dapat
disaksikan oleh orang lain. Inilah
beberapa tata cara bungo alek menurut kebiasaan yang berlaku pada
beberapa kenagarian di Minangkabau, dan yang sekarang juga sudah lazim
ditampilkan sesudah akad nikah dalam pesta-pesta perkawinan orang Minang
di Jakarta. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
13. Babako-Babaki
Sesuai
dengan judulnya, maka pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara
perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako.
Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan
pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka
yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau ujung emas. Dalam
sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga bapak
tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako. Menurut
ketentuan adat setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang
anak pusako dimana pihak bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau
melaksanakan acaranya secara khusus. Empat peristiwa tersebut adalah :
- Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako beberapa waktu setelah dilahirkan
- Waktu perkawinannya
- Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)
- Waktu kematian
Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki.
Dalam acara ini, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat
dengan datang berombongan ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa
berbagai macam antaran. Acara ini bisa besar, bisa kecil, tergantung kepada kemampuan pihak keluarga bako. Hakikat
dari acara ini adalah bahwa pada peristiwa penting semacam ini, pihak
keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako
mereka dan mereka harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan
mereka. Karena
itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak
pusakonya membawa berbagai macam antaran. Terdiri dari berbagai macam
barang yang diperlukan langsung oleh anak pusako, seperti pakaian, bahan
baju, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang
masih mentah, kue-kue dan lain sebagainya. Acara
ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan.
Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama dikota-kota besar, acara
babako-babaki ini sekarang sering disetalikan pelaksanaannya dengan
acara malam bainai. Sore
harinya pihak bako datang dan tetap tinggal dirumah anak pusakonya itu
untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilangsungkan malam
harinya.
Tata cara
Menurut
tradisi kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput
dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak
daro ini akan bermalam semalam dirumah bakonya, dan pada kesempatan itu
yang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si
calon pengantin sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga
nanti. Besoknya
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan calon pengantin wanita
didandani oleh bako dan lazimnya juga dipakaikan padanya pakaian adat
pusaka bako, kemudian baru diantarkan secara beramai-ramai dalam satu
arak-arakan adat ke rumah ibu bapaknya. Arak-arakan
bako mengantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan
ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula
dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh
sepanjang jalan. Keluarga
ibu juga mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan bako ini dengan
tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan di halaman dengan tari
galombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan diatas rumah. Setelah
naik ke atas rumah, maka seluruh barang antaran sebagai tanda putih
hati yang dibawa bako-bako tersebut (kecuali binatang ternak yang hidup)
dijajarkan di tengah rumah untuk dapat disaksikan oleh orang banyak. Biasanya
yang menjadi juru bicara dalam acara ini adalah perempuan yang
dihormati dalam keluarga bako. Dialah yang dengan bahasa yang penuh
papatah petitih akan menyampaikan maksud kedatangan mereka dan membilang
satu persatu antaran yang mereka bawa sebagai tanda putih hati dan
kasih sayang kepada anak pusakonya. Dari pihak keluarga calon anak daro
biasanya yang menyambut juga perempuan yang sama mahirnya dalam
berbasa-basi.
Barang-barang yang dibawa bako
- Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepala adat)
- Nasi kuning singgang ayam (sebagai makanan adat)
- Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit, selimut dll
- Perangkat perhiasan emas
- Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti beras, kelapa, binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam, kambing atau kerbau
- Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau kecil
Menurut
tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan
berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti
simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya
sebagai modal untuk membina perekonomian rumah tangganya nanti. Misalnya
bibit kelapa, bibit padi dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Lazim
juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman
tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang
akan dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsung disiapkan
dan ikut dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini. Semua
barang bawaan keluarga bako ini ditata secara khas diatas wadahnya
sesuai dengan tradisi di daerahnya masing-masing. Malah ada kalanya
kerbau hidup yang dibawapun didandani dan diberi pakaian khusus agar
nampak menarik dan serasi untuk tampil dalam arak-arakan itu. Dibeberapa
daerah SumBar acara yang sama dengan tujuan yang sama juga dilakukan
oleh pihak keluarga ayah terhadap calon mempelai pria. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
- Adat Minangkabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang
- oleh Amir M.S. PT. Mutiara Sumber Widya 2001 Cetakan ke 3.
- Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau
- Kerajaan Minangkabau – Jamilus Jamin
- Adat Minangkabau – Sejarah & Budaya
- Mustika Adat Minangkabau
- Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Adat Perkawinan Minangkabau
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/adat-perkawinan-minangkabau.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment