Masyarakat Minangkabau
Wednesday, September 19, 2012
0
comments
Masyarakat Minangkabau
1. Norma Kehidupan
Apa
yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang
kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang
pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka.
Manusia mungkin akan segera musnah. Nenek
moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu telah
memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi
kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan
norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan
kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma
itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi
kehidupan yang tertib aman dan damai. Aturan-aturan itu antara lain
mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta
kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang
tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan
seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak
ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan
itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak
seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun
sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan
adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak
kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak
yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat
Minang. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Sistem Matrilinial
Menurut
para ahli antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.A. Wilken
dan sebagainya, manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan
melahirkan keturunan tanpa ikatan.
Kelompok keluarga batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara “ibu dan anak-anaknya” sebagai
satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak
tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih “ibu dan anak-anaknya” ini, si Ibulah yang menjadi Kepala Keluarga. Dalam
kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan)
antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah
asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut
dengan “adat eksogami”. Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan
dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun
tidak diperkenankan sepanjang adat. Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena “garis keturunan” selalu diperhitungkan menurut “Garis Ibu”, dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat “matriarchat”. Istilah “matriarchat” yang berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem “ibu yang berkuasa”
itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip
silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam
bahasa asing disebut garis “matrilinial”. Jadi dalam sistem kekerabatan “matrilinial” terdapat 3 unsur yang paling dominan :
- Garis keturunan “menurut garis ibu”.
- Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial.
- Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Hubungan Individu dan Kelompok
Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah
menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat
hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan manusia lain untuk
hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup
berkelompok dan hidup bermasyarakat. Kelompok
kecil dalam masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok terbesar,
terlihat dari kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok
terkecil, seyogianya harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang
Minang. Kalau tidak akan mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa
keluarga terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan
anak-anak. Pengertian yang keliru inilah yang sering membawa pecahnya
kekeluargaan Minang, karena mamak rumah, dunsanak ibu, bahkan Penghulu
suku tidak lagi dianggap keluarga. Selain
itu sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama”. Tiap
individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap
kelompok itu menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota
kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya
rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa kebersamaan, rasa
tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan
setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi
setiap individu. Kehidupan
individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air.
Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempat hidup. Bila si
ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari sini lahirlah
pepatah yang berbunyi : Suku yang tidak bisa dianjak Malu yang tidak bisa dibagi. Dengan
melihat hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan
diatas, maka jelas antara individu dan kelompoknya akan saling
mempengaruhi. Individu yang berwatak baik, akan membentuk masyarakat
yang rukun dan damai. Sebaliknya kelompok yang tertata rapi, akan
melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik. Dengan
demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria tertentu
yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang.
Sumber : Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang
4. Adat Nagari dan Keturunan Orang Minangkabau
ADAB
Adapun adab yang pertama, patut kita berkasih-kasihan antara sesama hamba Allah dengan sahabat kenalannya, dengan kaum kerabatnya serta sanak saudaranya. Adapun adab yang kedua, hormat kepada ibu dan bapak, serta guru dan raja, mamak dan ninik serta orang mulia-mulia. Adapun
adab yang ketiga, yang tua wajib dimuliakan , yang muda patut dikasihi,
sesama remaja dibasa-basikan (dipersilakan / dilayani dengan baik). Adapun
adab yang keempat, adab berkorong dan berkampung, adab berkaum kerabat,
jika sukacita sama-sama ketawa, kalau dukacita sama-sama menangis.
Bertolong-tolongan pada jalan kebaikan, jangan bertolong-tolongan pada
jalan maksiat, atau jalan aniaya, jangan memakai khizit dan khianat
serta loba dan tamak, tidak usah berdengki-dengkian sesama hamba Allah,
pada jalan yang patut-patut; janganlah memandang kepada segala manusia,
dengan cara bermasam muka, itulah dia yang bersama adat yang patut, yang
kita pakaikan setiap hari.
TERTIB
Adapun
tertib kepada raja-raja dan orang-orang besar serta kepada alim ulama;
kepada ibu dan bapak; dan kepada ninik mamak dan orang tua-tua dengan
orang mulia-mulia; jikalau menyambut barang sesuatu hendaklah meletakkan
tangan kanannya diatas tangan kirinya. Sewaktu
mengunjukkan barang sesuatu, duduk menghadap dengan cara bersimpuh,
jika berjalan mengiring di belakang; jikalau sama-sama minum dan makan,
hendaklah kemudian daripadanya, jangan meremas-remas nasi, jangan
mengibas-ngibaskan tangan kearah belakang atau samping kanan belakang
sehingga besar sekali kemungkinan ada orang lain atau sekurang-kurangnya
dinding rumah akan kejipratan air bekas pembasuh tangan yang masih
melengket dijari-jari tangan. Selain dari itu lebihkanlah menekurkan
kepala daripada menengadah kepadanya dan apabila berkata-kata hendaklah
dengan suara yang lemah lembut
.
SIFAT PEREMPUAN
Adapun
setiap wanita itu hendaklah dia berhati sabar; menurut perintah
suaminya, serta ibu bapaknya; baikpun ninik mamaknya; kalau dia
berkata-kata hendaklah merendahkan diri terhadap mereka itu. Dan wajib
baginya untuk mempelajari ilmu dan tertib sopan, serta kelakuan yang
baik-baik; menghindarkan segala macam perangai yang akan menjadi cela
kepadanya, atau kepada suaminya, atau kepada kaum kerabatnya, yang
timbul oleh karena tingkah laku dan perangainya yang kurang tertib,
hemat cermat. Kalau dia sudah bersuami, hendaklah dia berhati mukmin
terhadap suaminya itu.
PERANGAI
Adapun
perangai yang wajib, berlaku atas segala makhluk, baik laki-laki maupun
perempuan; ialah menuntut ilmu, dan mempelajari adat dan hormat, dan
merendahkan dirinya pada tempatnya juga, dan wajib dia berguru, sifat
berkata-kata yang “mardesa” (tertib sopan; hemat cermat) bagaimana bunyi
yang akan baik, didengar oleh telinga si pendengar, serta dengan
perangai yang lemah lembut juga dilakukan, dengan halus budi bahasanya,
karena kita berlaku hormat kepada orang-orang besar dan orang-orang
mulia dan orang-orang tua, supaya terpelihara daripada umpat dan caci;
itulah kesempurnaan perbasaan bagi orang baik-baik, yang terpakai dalam
nagari atau dalam alam ini.
HUTANG BAGI ORANG TUA-TUA
Adapun
yang menjadi hutang bagi orang tua-tua dan cerdik pandai serta orang
mulia-mulia dan segala arif bijaksana yaitu harus baginya mengingatkan
kepada segala ahlinya, dan kepada segala orang nan percaya kepadanya,
dan segala kaumnya, yang tidak ikut melakukan perangai dan tertib yang
baik-baik. Maka
hendaklah dibantahi; segala kelakuan mereka itu, yang bersalahan dengan
kebenaran juga, memberi petunjuk ia akan segala kaumnya itu, supaya dia
melakukan segala perangai yang baik-baik dan membuangkan segala
perangai yang kurang baik itu, supaya mudah sekalian mereka itu
mengetahui akan keindahan dan kemuliaan yang terpakai oleh orang
besar-besar yang membawa kepada jalan kebajikan, dan kesempurnaan
hidupnya, supaya ingat segala anak kemenakannya itu kepada yang baik,
dan lembut hatinya yang keras itu, karena hati lebih keras dari batu dan
besi. Apabila sudah berkata-kata dengan orang tua-tua dan orang cerdik
pandai itu; dengan ilmunya dan pengetahuannya yang sempurna, tidak boleh
tidak akan lembutlah orang yang keras-keras itu oleh muslihatnya, dan
kendorlah yang tegang itu, sebab kepandaiannya berkata-kata, melakukan
nasihat nan baik-baik itu. Karena itu wajiblah bagi orang yang tua-tua
dan cerdik pandai itu akan menajak segala kaum keluarganya dan orang
yang percaya kepadanya, dengan perkataan yang lemah lembut juga, serta
tutur kata yang baik-baik, akan menarik hati sekalian mereka itu, karena
sekalian jalan kebajikan, memberi sukahatinya mendengarkan; serta wajib
juga kepada orang tua-tua dan cerdik pandai itu, akan bercerita dan
memberi ingat kepada segala kaum kerabatnya, apapun cerita dan kabar;
baik maupun buruk; menceritakan kabar-kabar yang dahulu kala, yang
dilihat dan didengarnya, dengan menyatakan kesan-kesannya yang baik
ataupun yang jelek. Supaya menjadi pengajaran dan peringatan juga untuk
semua ahli baitnya; yakni kabar-kabar yang kira-kira cocok dengan
pendapat dan pikiran si pendengar. Demikianlah yang wajib dipakaikan
oleh orang tua-tua dan cerdik pandai serta arif
bijaksana;”menyigai-nyigaikan”(sigai=diusut, diselidiki sebaik-baiknya;
di dalam ini berbarti mendengarkan/menghampirkan dirinya) artinya,
janganlah dia mengatakan jauhnya dengan mereka itu, melainkan wajib dia
menyatakan hampirnya juga, supaya tertambah-tambah kasih sayangnya, kaum
kerabatnya itu dan murah baginya melakukan segala nasihat dan petunjuk
yang dilakukannya kepada sekalian orang.
ADAT BERKAUM BERKELUARGA
Apabila
ada kerja dalam kampung atau dalam suku dan nagari, baik “kerja yang
baik” (kerja yang menyukakan hati) maupun “kerja yang tidak baik”
(dukacita, kematian, musibah dan kerugian yang mendadak); jikalau suka
sama-sama ketawa, kalau duka sama-sama menangis; jika pergi karena
disuruh, jika berhenti karena dilarang; artinya semua perbuatan
hendaklah dengan sepengetahuanpenghulu-penghulunya juga, serta orang
tua-tuanya dan sanak saudaranya yang patut-patut. Demikianlah adat orang
berkaum keluarga dan beranak berbapak, beripar besan, berindu bersuku.
Itulah yang dipertalikan dengan adat lembaga, yang “persaluk urat, yang
berjumbai akar, berlembai pucuk” (bertali kerabat) namanya, menyerunduk
sama bongkok, melompat sama patah; kalau ke air sama basah, jika ke api
sama letup, itulah yang dinamakan “semalu sesopan”, kalau kekurangan
tambah-menambah, jika “senteng bilai-membilaia’, yang berat sama dipikul
dijunjung dan yang ringan sama dijinjing. Adat
penghulu kepada anak kemenakan, baik dalam pekerjaan yang baik maupun
didalam pekerjaan yang tidak baik. Apabila sesuatu persoalan anak
kemenakan disampaikan kepada penghulu dan orang tua-tua wajiblah bagi
beliau itu; bila kusut diselesaikan, bila keruh diperjernih, menghukum
dengan jalan keadilan, beserta dengan orang tua-tuanya disana. Adapun
yang dikatakan tua disana, ialah orang yang cerdik pandai, orang yang
berakal juga, yang akan menimbang buruk dengan baik, tinggi dengan
rendah, supaya menjadi selesai seisi kampungnya itu. Jika
tidak putus oleh penghulu-penghulu dan orang tua-tua didalam
masing-masing kampung mengenai apa-apa yang diperselisihkan oleh anak
buahnya; wajiblah kepada penghulu-penghulu dan orang tua-tua tersebut
untuk membawa “serantau hilir, serantau mudik” (sepanjang sungai kesana
kemari mencarikan air yang jernih, sayak yang landai” (keadilan) katian
(timbangan dengan ukuran berat sekati) yang genab; supaya diperoleh kata
kebenaran dan aman segala kaum keluarganya. Adat
orang menjadi “kali” (Tuan Kadi; penghulu nikah), pendeta dan alim
ulama, imam, khatib dan bilal serta maulana; hendaklah dia mengetahui
benar-benar segala aturan agama (syarat; syariat Islam) di dalam surau
dan mesjid-mesjidnya atau didalam segala majelis perjamuan, dan pada
tempat yang suci-suci baikpun di dusun-dusun atau di medan majelis orang
banyak, hendaklah selalu dia melakukan perangai nan suci dan hormat,
supaya menjadi suluh, kepada segala isi nagari dan yang akan diturut,
oleh segala murid-muridnya. Wajib dia mengatur segala penjagaan nan
bersalahan, dalam mesjid dan surau dan didalam majelis perjamuan yang
akan menjadi cacat dan cela bagi ketertiban agamanya, yang boleh
membinasakan tertib kesopanan orang-orang “siak” (santri) dan alim ulama
yang sempurna.
ADAT LAKI-LAKI KEPADA WANITA YANG SUDAH DINIKAHINYA
Wajib
laki-laki itu memberi nafkah lahir dan bathin kepada istrinya dan
memberi tempat kediaman serta memberi minum dan makannya serta pakaian
sekurang-kurangnya dua persalin setahun; dan wajib pula bagi perempuan
itu berperangai yang sempurna kepada segala ahli-ahli (karib bait)
suaminya dengan perangai yang hormat dan tertib sopan seperti adab
kepada suaminya juga. Demikianlah pula wajiblah bagi lelaki tsb
berperangai nan sopan, kepada segala kaum kerabat anak istrinya seperti
dia melakukannya terhadap kaum kerabatnya sendiri yang patut-patut. Cara
bagaimana hormatnya istri kepada ibu bapaknya dan ninik mamaknya begitu
pulalah hendaknya dia menghormati dan mempunyai rasa malu terhadap ibu
bapak dan ninik mamak istrinya itu. Yakni dengan basa-basi yang lemah
lembut dan hendaklah dia memberi petunjuk akan anak istrinya yang alpa
dalam menghormati kaum kerabatnya dan ibu bapak serta ninik mamaknya
yang sepatutnya dihormatinya, supaya istrinya itu berlaku baik dan
beradat yang sempurna terhadap kepada ahli-ahlinya (karib baitnya).
Wajib pula suami melarang istrinya berperangai yang salah menurut adab
dan tertib yang sopan dan santun, supaya istrinya itu tetap menurut
jalan yang baik-baik dan sopan; begitulah yang sebaik-baiknya yang
dilakukan oleh segala suami terhadap istrinya masing-masing.
MILIK
Ada
berbagai milik; ada milik raja, ada milik penghulu, ada milik kadi, ada
milik dubalang dan pegawai, ada milik imam dan khatib dan ada pula
milik orang banyak. Masing-masing milik tsb tidak boleh dikuasai oleh
yang bukan pemiliknya. Adapun
yang menjadi milik raja itu adalah memerintah dan menghukum segala
perselisihan hamba rakyatnya yang disampaikan kepadanya dan menjaga
kesentosaan nagari, dan mengetahui dia akan perangai sekalian
orang-orang yang dibawah kekuasaannya serta berhubungan dengan
pembantunya dan apabila pembantu-pembantunya bersalah maka diapun akan
menghukum mereka itu juga supaya nagari menjadi sempurna dan rakyat
menjadi sentosa. Adapun
milik penghulu itu adalah menjaga akan kesentosaan dan keselamatan anak
buahnya; baik yang ada dalam kampung dalam suku, dalam nagari, pada
tempat masing-masing, dan wajib baginya menentukan batas dan “bintalak”
(pasupadan; sempadan) milik anak buahnya didalam pegangan
masing-masingnya; dan yang lain-lainnya yang akan memberi kebajikan
kepada segala anak buahnya. Adapun
milik tuan Kardi itu adalah menghukumkan menurut jalan hukum dan
syariat agama nabi kita Muhammad dan menentukan sah dan batal, pasal dan
bab, dalil dan maknanya, setiap hukum agama dikeluarkannya
(diterapkannya). Adapun
milik pegawai dan hulubalang, menjelaskan apa-apa yang dititahkan
penghulu-penghulu; “menakik” yang keras, “menyudu” yang lunak;
berdasarkan jalan kebenaran juga. Adapun
milik bagi orang banyak itu, wajib kita menutur segala titah dan
perintah penghulu-penghulu, orang tua-tuanya; memelihara akan
pekerjaannya masing-masing; dengan yakin menjalankan titah rajanya dan
disampaikan kepadanya; Tuan Kadinya dan ibu bapaknya serta sanak
saudaranya. Adapun
milik bagi harta benda itu, seperti sawah ladang, emas perak kerbau
sapi, ayam itik dan lain-lainnya, wajib tergenggam pada yang punya milik
masing-masing juga, tidaklah harus dimiliki oleh bukan pemiliknya.
HAK
Adapun
hak itu tidaklah tetap terpegang, kepada yang empunya hak untuk
selamanya; hak yang terpegang ditangan yang empunya masing-masing adalah
hak milik namanya. Dan apabila haknya itu dipegang oleh orang lain,
maka dinamai “Haknya saja” tetapi yang memiliki orang lain. Itulah
undang-undang yang terpakai dalam nagari di Alam Minangkabau ini yang
sepatutnya engkau ketahui terlebih dahulu. Tentukan (usut dan periksa)
benarlah dahulu semuanya yang hamba sebut tadi; yang dipakai didalam
nagari ini; agar jelas pegangan masing-masing, agar berbeda orang dengan
awak; baik jauh maupun dekat. (Sumber : Mustika Adat Minangkabau)
5. NAMA PANGGILAN MASYARAKAT MINANG
Bagi orang Minang nama itu penting. Ketek banamo – gadang bagala. Katiko ketek disabuik namo – alah gadang disabuik gala. Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa yang dikatakan sepesukuan sebagai unit
terkecil dalam sistem kekerabatan Minang terdiri dari 5 lapis generasi
atau keturunan. Mungkin dalam satu masa tidak terdapat kelima tingkat
keturunan itu, karena hal itu sangat tergantung dari usia rata-rata
anggota suku dari tiap generasi.
Panggilan Sesama Anak
Adik
memanggil kakaknya yang perempuan dengan “Uni” dan “Uda” untuk kakak
lelaki. Antara mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si Ani
memanggil si Ana dengan menyebut Ana. Si Husin memanggil si Hasan dengan
sebutan Hasan.
Mande dan Mamak serta generasi yang lebih tua, memanggil anak-anak
dengan panggilan kesayangan “Upiak” pada anak perempuan dan “Buyuang”
untuk anak laki-laki.
Panggilan untuk Ibu dan Paman
Anak
sebagai generasi terbawah dalam susunan pesukuan Minang, mempunyai
panggilan kehormatan terhadap ibu dan saudara ibunya, serta generasi
yang berada diatasnya.
Anak memanggil ibunya dengan panggilan Mande – Amai – Ayai – Biyai –
Bundo – Andeh dan di zaman modern ini dengan sebutan Mama – Mami – Amak –
Ummi dan Ibu.
Jika ibu kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita
(kakak ibu) maka sebagai anak kita memanggilnya dengan istilah Mak Adang
yang berasal dari kata Mande dan Gadang.Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan Mak Etek atau Etek yang berasal dari kata Mande nan Ketek.Bila
ibu kita punya saudara lelaki, kita panggil beliau dengan Mamak. Semua
lelaki dalam pesukuan itu, dan dalam suku yang serumpun yang menjadi
kakak atau adik dari ibu kita, disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya
sebatas saudara kandung ibu, tapi semua lelaki yang segenerasi dengan
ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan demikian kita punya Mamak
Kanduang, Mamak Sejengkal, Mamak Sehasta, Mamak Sedepa sesuai dengan
jarak hubungan kekeluargaan. Mamak Kandung adalah Mmamak dalam
lingkungan semande.Mamak
tertua dan yang lebih tua dari ibu kita, kita panggil dengan istilah
Mak Adang dari singkatan Mamak nan Gadang sedangkan yang lebih muda dari
ibu kita , kita sebut dengan Mak Etek atau Mamak nan Ketek. Mamak yang
berusia antara yang tertua dan yang termuda dipanggil dengan Mak Angah
atau Mamak nan Tangah.
Kedudukan Mamak
Mamak
mempunyai kedudukan yang vital dalam struktur kekerabatan minang,
khususnya dalam hubungan Mamak-Kemenakan, seperti diatur dalam Pepatah
Adat berikut ini.
Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka panghulu,
Panghulu barajo ka mufakat,
Mufakat barajo ka nan bana,
Bana badiri sandirinyo.
Dari
uraian diatas, dapat dilihat bahwa mamak mempunyai kedudukan yang
sejajar dengan ibu kita. Karena beliau itu saudara kandung. Sehingga
mamak dapat diibaratkan sebagai ibu-kandung kita juga kendatipun beliau
lelaki. Adat
Minang bahkan memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih
berat kepada mamak ketimbang kewajiban ibu. Adat mewajibkan mamak harus
membimbing kemenakan, mengatur dam mengawasi pemanfaatan harta pusaka,
mamacik bungka nan piawai. Kewajiban
ini tertuang dalam pepatah adat, ataupun dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Kewajiban untuk membimbing kemenakan sudah selalu
didendangkan orang Minang dimana-mana. Namun kini sudah mulai jarang
diamalkan Pepatah menyebutkan :
Kaluak paku kacang balimbiang,Buah simantuang lenggang lenggangkan,Anak dipangku kamanakan dibimbiang,Urang kampuang dipatenggangkan.
Kewajiban
mamak terhadap harta pusaka antaranya dalam menjaga batas sawah ladang,
mengatur pemanfaatan hasil secara adil di lingkungan seperindukan, dan
yang terpenting mempertahankan supaya harta adat tetap berfungsi sesuai
ketentuan adat.
Fungsi utama harta pusaka :
- Sebagai bukti dan lambang penghargaan terhadap jerih payah nenek moyang yang telah mencancang-malateh, manambang-manaruko, mulai dari niniek dan inyiek zaman dahulu, sampai ke mande kita sendiri. Karena itu kurang pantaslah bila kita sebagai anak cucu, tidak memeliharanya, apalagi kalau mau menjualnya. Tugas mamak terutama untuk menjaga keberadaan harta pusaka ini.
Ramo-ramo si kumbang janti,Katik Endah pulang bakudo,Patah tumbuah hilang baganti,Harto pusako dijago juo.
-
Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah. Supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (peceh) sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie (setia), sehingga barang siapa yang merusak harta pusaka ini, akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.
-
Sebagai jaminan kehidupan kaum jaman dahulu sehingga sekarang terutama tanah-tanah pusaka. Baik kehidupan zaman agraris, maupun kehidupan zaman industri, tanah memegang peranan yang sangat strategis. Jangan terpedaya atas ajaran individualistis atas tanah, yang bisa menghancurkan sendi-sendi adat Minang.
-
Sebagai lambang kedudukan social.
Itulah 4 fungsi utama dari harta pusaka yang menjadi kewajiban mamak untuk memeliharanya. Kewajiban
mamak sebagai pamacik bunka nan piawai, selaku pemegang keadilan dan
kebenaran. Kewajiban ini dilakukan dengan bersikap adil terhadap semua
kemenakan. Antaranya dalam pemanfaatan hasil harta pusaka tinggi. Dilain
pihak penanggung jawab terhadap ikatan perjanjian antara pihak luar
pesukuan misalnya dalam ikatan perkawinan. Bila sudah ada kesepakatan
antara kedua keluarga, maka mamaklah menjadi penanggung jawab atas
kesepakatan itu. Bila terjadi ingkar janji, mamaklah yang harus membayar
hutang. Bila telah dilakukan Tukar Tando sebagai tanda kesepakatan,
maka mamaklah yang akan menjadi tumpuan dan tumbal bagi kesepakatan itu.
Mamaklah yang menjadi penanggung jawab atas janji antara kedua keluarga ini, bukan kemenakan yang akan dikawinkan.
Panggilan Generasi Ketiga
Dalam hubungan pesukuan diatas,
terlihat bahwa kita sebagai anak menjadi generasi kelima. Kita sebagai
generasi kelima, memanggil “Uo” atau “Nenek” kepada Mande dari ibu kita
sendiri dan Mamak atau Tungganai (Mamak Kepala Waris) pada saudara
lelaki dari Uo (Nenek) kita. Berdasarkan pada pengelompokkan umur
rata-rata, maka yang diangkat jadi Penghulu dalam pesukuan ini, biasanya
dari kelompok tungganai ini. Pada saat kita lahir,kelompok para
tungganai ini berusia sekitar 40 tahun, sehingga memenuhi syarat usia
yang pantas untuk memimpin suku (kaum) kita. Selanjutnya
pada generasi kedua kita memanggil Gaek untuk perempuan dan Datuak pada
lelaki yang termasuk dalam generasi kedua ini. Generasi
pertama (kalau masih hidup) kita sebut dengan panggilan Niniek untuk
perempuan dan Inyiek untul lelaki yang termasuk generasi pertama. Usia
rata-rata generasi pertama ini, pada saat kita lahir sekitar 80 th. Bagi
mamak atau tungganai yang diangkat jadi Penghulu, diberi gelar DATUK.
Keluarga yang seusia atau lebih tua dari Penghulu memanggilnya dengan
“Ngulu”, sedangkan yang lebih muda dengan panggilan yang biasa seperti
Uda dan Mamak.
(Sumber : Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang)
6. Suku dan Pengembangannya
1. Suku Asal
Kata
suku dari bahasa Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti
seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku,
Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago,
Koto, Piliang. Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta :
- Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
- Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
- Koto dari katta (benteng)
- Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya.
Koto
Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan
cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Dalam tambo,
kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi
Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan
lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi
pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang
pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan.
2. Pertambahan Suku
Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena :
- Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
- Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
- Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
- Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga.
Biasanya
suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama
ditambah saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari
beberapa ninik, jumlah ninik itu dipakai sebagai atribut suku yang baru
itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi Caniago memakai angka
ganjil. Umpama :
- Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
- Kalau gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
- Apabila gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago)
3. Pembentukan
Suku
dipemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat pemukiman
baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu dapat
dibuat suku dengan memilih beberapa alternatif :
- Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba di tempat itu.
- Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan spt: Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo.
- Apabila tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari negerinya tanpa atribut, spt asal Kitianyir ditempat baru tetap Kutianyir.
- Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong spt Koto nan Duo Korong.
- Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal : spt Suku Gudam (negeri Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dsb.
Selain dari itu , cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama dari :
- Tumbuh-tumbuhan, seperti Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo, Mandaliko, Pinawang dll.
- Benda seperti Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan dll.
- Nagari seperti Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo dll.
- Orang seperti Dani, Domo, Magek dll.
Suku
yang demikian lebih banyak daripada suku-suku yang semula. Apabila
dijumlahkan nama-nama suku itu seluruhnya sudah mendekati seratus buah
di seluruh Alam Minangkabau.
4. Adat orang sesuku
Orang-orang
yang sesuku dinamakan badunsanak atau sakaum. Pada masa dahulu mulanya
antara orang yang sesuku tidak boleh kawin walaupun dari satu nagari,
dari satu luhak ke luhak. Tetapi setelah penduduk makin bertambah
banyak, dan macam-macam suku telah bertambah-tambah, dewasa ini hal
berkawin seperti itu pada beberapa nagari telah longgar. Tiap-tiap suku
itu telah mendirikan penghulu pula dengan ampek jinihnyo. Jauh mencari suku, dakek mancari indu,
sesungguhnya sejak dahulu sampai sekarang masih berlaku, artinya telah
menajdi adat juga. Adat serupa ini sudah menjadi jaminan untuk pergi
merantau jauh. Mamak
ditinggakan, mamak ditapati. Mamak yang dirantau itulah, yaitu orang
yang sesuku dengan pendatang baru itu yang menyelenggarakan atau
mencarikan pekerjaan yang berpatutan dengan kepandaian atau keterampilan
dan kemauan “kemenakan” yang datang itu sampai ia mampu tegak sendiri.
Baik hendak beristri, sakit ataupu kematian mamak itu jadi pai tampek
batanyo, pulang tampek babarito, bagi kemenakan tsb. Sebaliknya
“kemenakan” itu harus pula tahu bacapek kaki baringan tangan
menyelenggarakan dan memikul segala buruk baik yang terjadi dengan
“mamak” nya itu. Dengan demikian akan bertambah eratlah pertalian kedua
belah pihak jauh cinto-mancinto, dakek jalang manjalang. Tagak basuku
mamaga suku adalah adat yang membentengi kepentingan bersama yang merasa
semalu serasa. Bahkan menjadi adat pusaka bagi seluruh Minangkabau,
sehingga adat basuku itu berkembang menjadi Tagak basuku mamaga suku
tagak banagari mamaga nagari, tagak baluhak mamaga luhak dll. Artinya
orang Minangkabau dimana saja tinggal akan selalu bertolong-tolongan,
ingat mengingatkan, tunjuk menunjukkan, nasehat menasehatkan, ajar
mengajarkan. Dalam hal ini mereka tidak memandang tinggi rendahnya
martabat, barubah basapo batuka baangsak. Karena adat itulah orang
Minangkabau berani pergi merantau tanpa membawa apa-apa, jangankan
modal. Kalau pandai bakain panjang Labiah dari kain saruang Kalau pandai bainduak samang Labiah dari mande kanduang. Lebih-lebih kalau yang datang dengan yang didatangi sama-sama pandai. Padilah nan sama disiukkan sakik nan samo diarangkan. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Apalagi kalau “ameh lah bapuro, kabau lah bakandang“. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Masyarakat Minangkabau
Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://batang-agam.blogspot.com/2012/09/masyarakat-minangkabau.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Ferry Setia Budi
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment